Tentang

Tuesday, December 22, 2015

Timbang-timbangan jadi Hakim (juga Tentang Yang Mulia yang Tak Bersemangat)

Saya baru setengah jam sampai di kosan, selepas seharian mengurusi satu perkara dampingan kami di klinik hukum kampus. Siang tadi, kira-kira dari pukul 12.00 hingga pukul 15.00, kami menghabiskan waktu dengan menunggu dan menyimak sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dari tempat itulah ide awal catatan kecil ini lahir.

Tiap datang ke pengadilan, melihat para terdakwa datang dengan baju koko dan berpeci atau berkerudung sudah jadi pemandangan menarik yang khas (saya tidak hendak jadi tukang vonis akhlak orang di sini). Selain itu, ada juga sketsa khusus lain: lancarkan perhatianmu kepada paras dan raut Yang Mulia Majelis Hakim, dan tampaknya kau segera akan menangkap kesan yang sama seperti yang saya tangkap. Bapak dan ibu hakim yang rata-rata sudah berumur ini tampak mengantuk, tak bersemangat, dan ingin cepat-cepat selesai sidang.

Monday, December 7, 2015

Apakah konsekuensi bertumbuh adalah selalu susah tidur?

Sial, ini sudah pukul 3.05 pagi tapi saya tak tidur-tidur juga. Padahal besok pagi harus ke Rumah Tahanan Pondok Bambu untuk mengganti giliran jaga pos bantuan hukum yang tak saya hadiri minggu lalu gara-gara serangan penyakit linu perut yang asli menyakitkan. Sudah coba tidur dari pukul 01.00 tadi, tapi anak-anak kosan di ruang tengah menyetel Top 40 Billboard keras-keras dan keberisikan kecil yang tak saya harapkan ini berlangsung tak kurang dari satu jam. Kacau, saya tak bisa berkonsentrasi tidur dibuatnya. Lelah memejamkan mata, setengah jam lalu saya hidupkan lampu dan membaca kembali Di Bawah Tiga Bendera, yang khusus saya beli sebagai bacaan persiapan untuk kuliah umum Ben Anderson di FIB UI Kamis ini. Membaca 100 halaman awal buku ini, tak berlebihan kalau saya bilang bahwa analisisnya lincah dan bahan-bahan risetnya menakjubkan. Cuma, kemampuan nalar otak saya yang tak terlalu bisa diandalkan rada kepayahan dalam mengikuti alur narasi yang Anderson sajikan dengan begitu cepat. Dalam satu paragraf dia bisa kutip dan sebut bertumpuk-tumpuk referensi sana sini, entah si Bung yang disertasinya dibimbing Kahin ini dapat bahan riset sekompleks itu darimana. Meski demikian, Di Bawah Tiga Bendera pun kelihatannya gagal membuat saya ngantuk. 

Dan begitulah, karena tak tahu mau apa lagi, iseng saja saya buka laptop dan secara tak diniatkan menulis kabar tak signifikan ini di blog yang telah satu bulan tak saya unggahkan tulisan apa-apa.

Hampir subuh. Saya mau usaha tidur lagi, siapa tahu berhasil.

Sunday, November 1, 2015

00:49

Memikirkan dunia orang dewasa, dunia pasca kampus yang disesaki ketakpastian macam "Sekarang, apa lagi?" atau "Mau kerja apa saya?" (dan terkadang bayang-bayang rencana berumah tangga) membuat saya pening.

Syukurlah, saat ini saya hanya butuh sarapan dan perasaan tak ditinggalkan.

Tuesday, October 20, 2015

Fajar, Teater, dan Antariksa


Perkenalkan adik laki-laki saya, Fajar. Ia  sekarang duduk di kelas 7 SMP. Usianya baru 12 tahun.
           
Memerhatikan adik yang sedang tumbuh dan berkembang itu mengasyikkan. Sabtu dua minggu lalu, saya pulang ke rumah. Kira-kira pukul 12 siang, saya ikut Mama dan Papa pergi menjemput Fajar ke sekolahnya. “Fajar hari ini ekskul (ekstrakurikuler) teater”, kata Mama. Sampai di sekolah, kami menunggu barang setengah jam, Fajar belum selesai dengan ekskulnya. Selesai ekskul, ia menghampiri kami dengan Hilman, seorang temannya, yang hendak menebeng pulang.

Ketika mendengar bahwa adik saya ikut ekskul teater, saya sudah berprasangka terlebih dahulu. Pikir saya, teater macam apa yang bisa anak SMP pentaskan? Pasti bukan teater yang rumit dan sulit. Paling-paling “hanya” drama atau kabaret lucu-lucuan yang naskahnya tak susah dan ringan-ringan saja untuk dipahami anak SMP (maafkan saya telah meremehkanmu, Dik). Saat SMA, kelas saya pernah membuat drama lucu-lucuan untuk keperluan ujian mata pelajaran kesenian. Saya berpikir, kami yang SMA saja konsep dan kemampuannya hanya sampai di drama komedi, apalagi anak-anak SMP ini?

Friday, October 9, 2015

Dua Tesis tentang Cantik


*

Istilah “cantik” dalam argumen singkat ini menunjuk pada kerupawanan paras perempuan sekaligus laki-laki. Selain karena akan terlalu panjang dan – kata seorang teman yang bertani kopi di Jatinangor – “tak dapat prosanya” jika memaksakan menyebut “cantik dan ganteng”, saya juga mencurigai bahwa istilah “ganteng” atau “tampan” hanyalah bahasa yang dicari-cari saja untuk menemukan padanan istilah “cantik” untuk laki-laki. Padahal, ketiganya sama-sama menerangkan tentang paras yang rupawan, atau, menurut Google Translate: “pleasing the senses or mind aesthetically”.

1.

Ada mitos yang harus diuji (dan dipatahkan jika terbukti keliru) pada setiap pelabelan (labeling) yang dianggitkan pada seseorang. Menantang  mitos perlu dilakukan karena saking berurat-akarnya, mitos itu kadung menjadi hegemoni. Pada hegemoni, terdapat kesadaran palsu serupa kewarasan yang tertutup asap dan terhadapnya, harus diadakan pengungkapan kebenaran.

Masyarakat, setidaknya berdasarkan teori pelabelan yang tadi pagi saya pelajari di kelas Kriminologi dan Viktimologi, adalah entitas yang suka mengambil peran sebagai hakim dan merasa dirinya paling benar. Dalam perspektif yang sangat strukturalis, masyarakat diteorikan sebagai suatu struktur pencemburu yang gerah jika melihat ada seseorang di dalam tubuhnya yang “menyimpang”.

Tuesday, September 29, 2015

Tips Membaca Saat SeHAMA




Pada 31 Juli hingga 18 Agustus 2015 lalu, saya berkesempatan mengikuti suatu helatan keren bernama SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa) VII yang diadakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – tampaknya saya telah beberapa kali pula menyebut tentang SeHAMA di tulisan-tulisan sebelumnya. 

Saat menyiapkan barang-barang yang akan saya bawa ke SeHAMA (peserta SeHAMA tinggal bersama di wisma selama kurang lebih tiga minggu penyelenggaraan SeHAMA itu), karena saya kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku, maka tentu saya menyiapkan beberapa buku untuk saya bawa. Saya membayangkan, buku-buku itu nantinya akan saya baca saat malam setelah agenda harian selesai. Waktu itu saya juga berencana untuk menulis tentang materi kelas dan kehidupan harian saat SeHAMA setiap harinya. Rencana ini hanya sukses dijalankan dua tiga hari saja, itu pun di hari-hari awal SeHAMA. Di hari-hari sisanya, rencana ini terus-menerus tak terkejar karena beberapa alasan. Alasan yang sama juga menyebabkan buku-buku yang saya bawa tetap tertinggal di dalam tas, tak kunjung saya baca.

Friday, September 25, 2015

Filsafat Kol Goreng


Seberapa sering anda makan pecel lele atau pecel ayam kaki lima dengan kol goreng? Saya sering sekali.

Sore tadi selepas kelas Sosiologi Hukum, saat sedang nikmat-nikmatnya memamah nasi lele bakar dengan atribut kol goreng, saya terlonjak karena merasa telah berhasil membuat suatu tesis yang tampaknya cukup revolusioner dan mencengangkan. Ternyata, jejak-jejak pemikiran posmo dapat ditemukan bukan di gedung-gedung berarsitektur aneh yang patah-patah dan bengkok-bengkok (yang sering disebut seni-zaman-baru itu), bukan pula di Galaksi Simulacra, buku kumpulan esai Jean Baudrillard yang, Masya Allah, membaca esai pertamanya saja sudah bikin jalinan neuron saya retak-retak. Manusia nusantara menemukan realitas posmo di atas meja makan; dalam konteks saya, realitas posmo itu adalah kol goreng. Bahkan, kalau kol goreng bisa berpikir dan membaca buku, saya lumayan yakin bahwa ia akan kuliah filsafat dan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Derridean. Sebelum sidang pembaca meninggalkan tulisan ini, saya mau tekankan satu hal: tenang saja, saya bukan Foucault, bukan pula Lyotard, diameter sumsum otak saya yang minimalis juga termehek-mehek membaca teori mereka. Tulisan ini tidak sulit.

Derrida adalah salah satu pemikir penting posmo yang terkenal dengan metode dekonstruksinya. Apa itu dekonstruksi? Akhyar Yusuf Lubis menyebut dalam Postmodernisme: Teori dan Metode, bahwa “dekonstruksi adalah strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar di mana pemikiran kita ditegakkan”. Dijelaskan pula bahwa dekonstruksi “menggunakan hermeneutika kecurigaan, dengan mencurigai klaim-klaim kebenaran yang dikemukakan ilmuwan yang ditemukan dalam teks”. Anda paham? Saya pun tak terlalu paham.

Tapi ringkasnya kalau saya coba jelaskan dekonstruksi ini menurut versi saya (yang mungkin sekali kurang tepat), dapatlah saya bilang bahwa dekontstruksi adalah metode untuk menggoyang dan mempertanyakan kembali esensi dan muatan teks yang dianggap sudah-benar-dari-sananya. Kalau mengutip Peter Barry, dekonstruksi adalah “membaca teks dengan melawan teks itu sendiri”. Teks ini juga tidak terbatas pada teks dalam bentuk tertulis yang selama ini kita kenal. Apapun adalah teks apabila dapat dilakukan upaya pemaknaan terhadap hal tersebut. Bangunan teorinya cukup begini saja untuk menerangkan analisis tak penting saya.

Thursday, September 17, 2015

Menjadi Feminis Menurut Saya


Kurang lebih satu dua tahun belakangan, saya seringkali melihat diri saya sebagai seorang feminis laki-laki karbitan yang bahkan belum membaca The Second Sex-nya Simone de Beauvoir atau Feminist Thought-nya Rosemarie Tong. Sejujurnya saya selalu was-was dan tak berani untuk menyebut diri saya seorang feminis, karena belum tentu kualitas diri saya memenuhi syarat-syarat untuk-menjadi-seorang-feminis seperti yang dibikin saklek oleh beberapa orang (seakan-akan feminisme adalah paham yang eksklusif). Definisi feminis (kalau memang ia butuh definisi) yang saya pahami tak sulit dan rumit: adalah orang yang mendukung perjuangan kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki. 

Feminisme, sebagai salah satu bentuk teori kritis, mengandung dimensi praksis. Maksudnya, feminisme akan mati dan tak ada gunanya kalau hanya hidup di teks-teks ilmu pengetahuan yang tak diterapkan. Feminisme mengandung dimensi perlawanan yang terang; ia anti penindasan dan dominasi patriarki. Untuk melahirkan sosietas dengan relasi gender yang adil dan setara, feminisme adalah kancah untuk bergerak; ia tak ingin dirinya hanya jadi deretan narasi yang melulu berisikan air mata, keringat, ludah, dan darah perempuan. Lebih dari itu, feminisme ingin agar air mata, keringat, ludah, dan darah perempuan itu tak tumpah sia-sia. Ia ingin tumpahan itu tak lagi ada dan semua manusia dapat hidup bersama dengan harmonis dan setara.

Tuesday, September 8, 2015

Sebelum Menjadi Pembela Rakyat Kesiangan



Judul Buku                  : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis                        : Paulo Freire
Penerbit                      : LP3ES
Jumlah Halaman         : 221 halaman
            
Pendidikan Kaum Tertindas (PTK) adalah buku kecil yang tidak mudah ditamatkan. Saya butuh kurang lebih dua minggu untuk betul-betul menyelesaikan dan mencoba memahami pemikiran-pemikiran Paulo Freire dalam buku ini. Meskipun begitu, membaca PTK adalah pengalaman yang menyenangkan dan sangat membuka pikiran.

PTK terdiri dari empat bab yang membahas beberapa ide pokok, yaitu: pembenaran bagi pembebasan kaum tertindas; model pendidikan “gaya bank”; serta prinsip dialogika dan antidialogika. Dalam PTK, selain menggunakan perspektif pertentangan kelas Marx, Freire banyak mendasarkan analisisnya pada filsafat manusia, sehingga pendekatan yang ia pakai sangat humanis. Dalam membahas pembebasan kaum tertindas misalnya. Freire berkali-kali menyatakan bahwa pembebasan hanya dapat dilakukan oleh kaum tertindas, bukan oleh kaum penindas. Pembebasan yang diupayakan oleh kaum tertindas harus dengan maksud untuk menegakkan nilai kemanusiaan; pembebasan ini dilakukan tidak hanya terhadap kaum tertindas, namun juga terhadap kaum penindas. Dalam sudut pandang ini, Freire hendak menyatakan bahwa pembebasan kaum tertindas tidak ditujukan untuk menghancurkan dan kemudian menggantikan posisi kaum penindas. Apabila hal ini terjadi, pembebasan tersebut lahir dari motif eksistensial yang salah, karena pembebasan demikian hanya akan melahirkan kaum penindas baru.

Sunday, August 30, 2015

Keberanian yang Disisiri Sisir Tanah

Karena Sisir Tanah, sejauh hasil riset saya di internet, belum merilis satupun album, maka jelas bahwa tulisan ini tidak dibikin sebagai reviu rilisan musik. Saya mendengar Sisir Tanah murni dari laman Soundcloud mereka,[1] serta beberapa video di Youtube. Sisir Tanah pun belum saya ketahui lama, baru sejak satu minggu yang lalu. Kala itu, saya sedang iseng memilih-milih video di Youtube, kemudian menemukan Lagu Hidup, lagu Sisir Tanah pertama yang saya dengar. Musiknya minimalis. Namun, dari petikan gitar dan vokal Bagus Dwi Danto yang sabar seperti ayoman orang tua, serta liriknya yang kuat tetapi sederhana, saya langsung tergerak untuk mengulik lebih dalam dan mendengar lebih banyak lagu Sisir Tanah.

Ada kesan berbeda tapi menyenangkan ketika mendengar lagu-lagu Sisir Tanah; kesan itu seperti benih kecil yang jatuh di sudut hatimu, pelan-pelan ia tumbuh dan berdaun rimbun, menghasilkan udara segar untuk hatimu hirup. Sama seperti Dialog Dini Hari, Sisir Tanah menawarkan musik bagus yang dapat menjadi obat bagi pendengarnya. Lirik-liriknya manis namun membuat tegar. Sebab saya yakin Sisir Tanah tak ingin jadi guru yang menggurui dengan lagu-lagunya, maka cerita tentang lagu-lagu Sisir Tanah ini sepenuhnya berasal dari penalaran dan interpretasi saya sendiri. Meski terdapat perbedaan antara apa yang Sisir Tanah benar-benar maksud  dalam lagu-lagunya dengan apa yang saya interpretasikan,  hal demikian taklah menjadi masalah. Saya memilih untuk membiarkan makna berkembang biak, agar menjadi makna yang disesuaikan dengan cara pikir dan alas kaki pencari maknanya. Meminjam sepotong larik dari Lagu Cinta, harum cinta pasti menyebar, maka seperti cinta, harum makna juga selayaknya menyebar.

Sunday, August 23, 2015

Aksi Kamisan dan Menulis tentang Kegetiran



Awal  
Saya rindu menulis tentang kegetiran dan keputusasaan. Seperti selalu saya ulang-ulang, saya menganggap bahwa hidup saya akhir-akhir ini berjalan dengan cukup menyenangkan serta baik-baik saja. Saya tak mengharapkan mampirnya duka dan tragedi ke hadapan saya, tentu. Namun, saya memeluk keyakinan bahwa hidup yang melulu dijejali kesenangan yang tumpah ruah, adalah hidup yang tumpul dan beku rasa. Terlalu banyak bersenang-senang akan membuat kepekaan runtuh dan ia menjadi tempat subur untuk tumbuhnya alienasi yang sempurna; terpisahnya diri dari kenyataan yang hidup sesak di sekitarnya. Saya selalu berdoa agar saya selalu dijauhkan dari hidup yang demikian; hidup yang terus menghisap penganutnya dalam pusaran konsumsi tak ada ujung. Hidup yang membuat manusia menjadi memiliki arti hanya ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa tertentu sesuai kelas tertentu. Hidup yang, bagi saya, mencerabut manusia dari esensi keberlahirannya di dunia. Saya percaya bahwa saya disebut manusia karena saya mampu merasa dan mencinta. Manusia menjadi manusia ketika ia mengenal empati dan kasih sayang; sehingga, empati dan kasih sayang mendefinisikan manusia. 

Hidup sebaiknya disusun dari perasaan-perasaan yang tidak monolitik. Tidak baik jika kau senang terus, karena kau akan lupa rasanya menderita. Juga tidak baik jika kau sedih berkepanjangan, karena kau akan mati cepat. Setiap bangun pagi hari, saya butuh keberanian, kebahagiaan, semangat, dan keyakinan dalam dosis tinggi agar saya bisa melanjutkan hidup. Namun, saya juga perlu sekian dosis ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, kesepian, serta segala jenis emosi “gelap” lain, agar saya tetap bisa memanggil diri saya manusia, yang boleh menyerah dan tak selamanya diliputi optimisme. Olah jiwa dan perasaan manusia baru terlihat nyata ketika ia dihadapkan pada kesusahan yang menimpa manusia lainnya.  Karenanya, saya ulang lagi tesis saya di paragraf pertama: manusia menjadi manusia hanya apabila ia mampu merasa. Pengalaman mengikuti Aksi Kamisan telah banyak melatih kepekaan merasa saya, karena ia membuat saya mampu meraba perasaan-perasaan asing yang muncul dari pojok benak saya.

Sunday, August 9, 2015

Narasi Minor Jakarta Utara

Sabtu 8 Agustus 2015 adalah hari yang agak berbeda dibanding hari-hari lain. Kami tidak menghabiskan hari ini dengan deretan kelas hingga sore atau menjelang malam. Sabtu punya agenda yang menarik: Kenali Kotamu. Kenali Kotamu meminta kami untuk mengidentifikasi dan mendatangi 12 tempat di Jakarta yang punya sejarah tak terlalu mulus; mereka menyimpan memori pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi di sekujur tubuhnya. Malam sebelumnya, kami telah coba menalar 12 tempat yang tidak diberikan identitas lengkapnya dalam lembar panduan destinasi. 12 tempat itu dijelaskan dengan sedikit narasi dan petunjuk di bagian Jakarta mana ia berada. Tidak sampai enam tempat yang berhasil kami kunjungi.

Destinasi pertama yang kami tuju adalah kawasan Harco Glodok yang menjadi salah satu titik pengerahan massa tak dikenal (setidaknya ia “tak dikenal” menurut dokumen-dokumen resmi) saat kerusuhan Mei 1998. Pada 13-14 Mei 1998, massa tak dikenal diturunkan di tempat-tempat di Jakarta yang merupakan kantong pemukiman warga beretnis Tionghoa. Sejauh yang saya ingat dari dokumen hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)  Kerusuhan Mei 1998, setidak-tidaknya massa tak dikenal itu diturunkan di Grogol, Glodok, dan Tangerang. Kerusuhan juga terjadi di Medan, Solo, dan Yogyakarta, pula di kantong-kantong pemukiman warga peranakan Cina. Disebutkan bahwa massa tak dikenal ini memiliki ciri-ciri fisik yang relatif sama: berambut cepak, tegap, dengan beberapa orang yang ditengarai sebagai koordinator massa memegang handytalkie (saya rasa kita semua tahu kelompok mana dalam masyarakat yang memenuhi karakteristik tersebut).

Sunday, July 19, 2015

Politik Identitas Manusia Kinokuniya

Susah sekali rasanya bagi saya untuk mencoba menulis beberapa waktu belakangan. Tulisan ini adalah percobaan saya yang kesekianbelaskali. Begini ceritanya:

Saya baru sampai di rumah dari satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Di sana sempat mampir ke Periplus dan Kinokuniya. Saya sedang mencari novel The Keeper of Lost Causes tulisan Jussi Adler-Olsen. Novel ini sudah dijadikan film dan direviu oleh banyak media sebagai film detective/mystery/thriller yang bagus. Saya sudah unduh filmnya, hanya saja tak kunjung saya tonton sebab sayang rasanya kalau film itu ditonton sebelum saya baca bukunya. Goodreads bilang bahwa novel ini cocok dengan penggemar trilogi The Girl with the Dragon Tattoo-nya Stieg Larsson. Well, karena saya penggemar berat The Girl with the Dragon Tattoo, sepertinya saya bakal suka novel ini. Ditambah lagi, The Keeper of Lost Causes juga ditulis olah orang Nordik (Olsen orang Denmark, Larsson orang Swedia). Novel thriller Nordik dikenal selalu atmosferik dan gelap (orang Nordik punya gen melankolik bawaan!), tentu ini membuatnya jadi makin menarik. Dari dua toko buku itu, saya tak temukan satupun kopi novel yang saya cari. "Stoknya sudah habis, Mas", kata mereka. Mungkin nanti saya pesan via toko buku online saja.

Masuk ke Kinokuniya. Gerai buku asal Jepang ini potensinya besar sekali sebagai laboratorium sosial (laboratorium sosial lain masyarakat postmodern Jakarta yang bahkan lebih potensial: Pasar Santa!). Baru dilihat dari perspektif "geopolitik"-nya saja, Kinokinuya ini seperti sudah melakukan klaim kelas. Kita lihat: letak gerainya di satu mall di Jakarta Selatan (inisialnya: Plaza Senayan - sial, saya gagal menulis lokus-lokus anonim) yang dikenal diisi oleh gerai-gerai barang-barang aksesoris yang harganya uber-mahal, yang tidak untuk diakses semua orang. Untuk masuk ke Kinokuniya, kita harus lewat Sogo, merk department store yang juga mengincar kelas menengah ke atas dan dianggap lebih tinggi kelasnya dari department store "biasa". Di depannya, ada gerai Starbucks, yang harga satu cangkir kopinya setara dengan uang makan untuk sehari saya di kampus. Pemosisian ini saya lihat sebagai klaim dan pernyataan: hanya kelas-kelas tertentu yang punya akses ke Kinokuniya. Keadaan geopolitik Kinokuniya ini, sedikit atau banyak disadari oleh (calon) pelanggan Kinokuniya. Masuk ke Kinokuniya (bahkan masuk saja, belum membeli buku) adalah masuk ke suatu helatan pengakuan kelas. 

Saturday, May 16, 2015

Seputar Pertambahan Umur, Buku-buku, dan Keabsurdan

Baru lewat pukul 16.00. Saya telah di rumah sejak Kamis lalu. Kepulangan saya juga disertai dengan tubuh terlanda demam dan flu yang hingga hari ini belum pulih sepenuhnya. Seharusnya saat ini saya mengerjakan satu tugas mata kuliah Hukum Lingkungan. Namun karena mood menulis tugas tak kunjung datang (saya pun lagi tak sehat-sehat amat), daripada saya tidak ada kerjaan, lebih baik saya cerita saja di sini mengenai momen-momen di sekitar pertambahan umur saya (dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk menyelesaikan tugas itu setelah tulisan ini selesai).

Sepuluh hari lalu saya bertambah umur yang ke 21 (sudah lewat umur 20, apa yang telah saya bikin?). Oci bertambah umur juga pada waktu yang berdekatan (kami hanya beda tiga hari). Hari-hari lewat dengan baik-baik saja. Banyak terjadi hal-hal menyenangkan bahkan: perayaan pertambahan umur dengan Oci; kejutan kue ulangtahun oleh Kelompok Praktek Hukum Pidana saya; dan juri menilai bahwa kelompok Praktek Hukum Pidana kami adalah salah satu yang terbaik. 

Dalam waktu semingguan ini, saya juga berhasil mendapatkan beberapa buku yang pula saya anggap suatu kegembiraan dan keseruan tersendiri. Buku-buku tersebut adalah Taxi Blues (komik dengan cerita dari Seno Gumira, tak terlalu mengesankan), Bukan Pasarmalam-nya Pram (sudah selesai saya baca, ini pertama kali saya tamat membaca Pram setelah tak sempat menyelesaikan Bumi Manusia sekitar tiga tahun lalu), Koong-nya Iwan Simatupang (telah selesai saya baca juga), dan Sebuah Kitab yang Tak Suci-nya Puthut EA (belum selesai saya baca, mungkin nanti saya tamatkan). Terakhir, Rabu lalu, alhamdulillah, saya akhirnya berhasil juga mendapatkan buku "Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945" tulisan seorang yang sangat terpelajar, Pak Ananda B. Kusuma. Buku ini memiliki tempat istimewanya sendiri di hati saya. Saya pertamakali mengetahui buku ini pada tahun pertama saya di FHUI, saat itu kami sedang riset tentang dinamika pembahasan mengenai pendidikan saat perumusan UUD 1945 dan buku ini menjadi salah satu referensi utamanya. Sejak saat itu saya selalu ingin memiliki buku ini sebab saya begitu tertarik dengan dialektika pemikiran para Pendiri Bangsa (frasa "the Founding Fathers" terdengar terlalu patriarkik dan falosentrik, bukan?) saat merumuskan Konstitusi. Buku ini beberapa kali ada stoknya di Koperasi Mahasiswa FHUI, namun selalu terlewatkan oleh saya (harganya - kalau tidak salah - Rp. 135.000,00 - selalu tak terjangkau oleh saya).

Sunday, April 5, 2015

Apa itu makna?

Masih pukul 23:02. Malam belum lagi terlalu larut.

Ada hal-hal tak terjawab yang kadang muncul di pikiran saya, beberapa kali saya carikan jawabannya namun sepertinya tetap tak terjawab dengan sempurna. Salah satunya adalah mengenai ketakjuban (atau keheranan?) saya terhadap hubungan antar manusia. Hubungan saya dengan keluarga misalnya. Apa sebenarnya yang membuat seorang manusia menjadi ayah atau ibu kepada manusia lainnya? Bagaimana hubungan yang ideal dan layak antara orang tua dan anak? Mengapa dalam hubungan dalam keluarga ada keharusan untuk bersikap begini dan larangan untuk bersikap begitu? Dari mana lahirnya nilai menghormati orang tua dan menyayangi anak? Apakah manusia pertama yang memutuskan untuk membuat keturunan dan membuat tempat tinggal bersama juga memegang nilai-nilai tersebut? Apakah seorang anak harus mematuhi perintah orang tuanya? Apa sebenarnya anak durhaka itu?

Saya sangat mencintai keluarga saya, dan pertanyaan-pertanyaan ontologis mengenai "Ada"-nya konstruksi hubungan dalam keluarga kerap membuat saya menebak-nebak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan: Mengapa saya menyayangi orang tua dan adik-adik saya? Dari mana lahirnya kasih sayang? Apa kasih sayang punya akhir? Dari mana datangnya keinginan untuk berkorban? Bagaimana saya memaknai keluarga? Apakah makna itu tetap atau selalu berubah? Apakah makna punya ujung?

Hidup berjalan dengan menyenangkan dan saya merasa baik-baik saja dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sunday, February 22, 2015

02:27

Saya masih terjaga. Selesai membaca Bab Pengantar pada suatu buku. Apa yang saya cerap dari bab tersebut membuat saya kembali berpikir mengenai hari dan waktu yang saya jejaki. Saya mencoba memahami diri saya sendiri sebagai subjek yang merdeka; dan memerdekakan. Saya adalah subjek yang disusun oleh sebarisan tanda tanya. Saya adalah subjek yang mengupayakan jawaban-jawaban. Saya adalah subjek yang memegang kendali penuh atas pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan yang saya ambil.

Saya adalah saya yang merunut makna ada pada tapak-tapak langkah saya sendiri.

Friday, February 20, 2015

03:48

Pukul 03:48. Saya terjaga. Tubuh saya agak hangat, sisa menerobos hujan dini hari kemarin. Selepas mendengar Ordinary World. Saya bertanya pada diri saya sendiri: apakah setiap jalan (atau kemungkinan) yang saya ambil, selalu menyisakan diri saya terperas habis di akhirnya?

Kemudian saya mendapati diri saya menggumamkan Touche Amore: "when you are searching for brightness you lose concern with the damage done".

Malam selesai.

Monday, January 26, 2015

Refleksi Pasca Pantura

Pulang

Jumat dini hari lalu, saya baru sampai di rumah setelah perjalanan delapan hari menyusuri kota-kota di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa bersama empat orang teman. Kami memulai perjalanan dari Cirebon hingga Surabaya. Pada awalnya, ada rencana untuk mengakhiri perjalanan di Banyuwangi, titik paling timur Pantura. Namun, karena kombinasi dari tipisnya kapital, terbatasnya waktu dan urgennya keperluan mengisi IRS, kami memutuskan untuk tidak melaksanakan ide ini. Jadilah kami memilih Surabaya sebagai perhentian terakhir, yang kami rasa cukup mudah mengakses moda transportasi untuk kembali ke Jakarta di kota itu. Total ada sembilan kota yang sempat kami singgahi, yaitu Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya. Tulisan ini tak saya maksudkan sebagai narasi detail mengenai perjalanan saya, hal yang demikian mungkin akan saya lakukan kemudian hari. Juga, tulisan ini bukanlah catatan kolektif yang merangkum cerita dari pandangan-pandangan kami berlima sebagai pelaku perjalanan.Tulisan ini saya buat setidak-tidaknya untuk keperluan personal saya sendiri; upaya untuk mengekalkan kesan, rasa dan pandangan terhadap tiap-tiap kota yang saya singgahi. Oleh karena sifatnya yang begitu personal, tulisan ini mungkin saja dirasa tak penting oleh pembaca. Tak apa, saya hanya sedang belajar berjalan sedikit jauh dari rumah, dan inilah pertanggungjawaban saya.

Sebermula

Keinginan mengadakan perjalanan kali ini bukan hanya didasarkan atas keinginan berlibur saja; untuk saya pribadi, alasannya jauh lebih penting dari itu. Selama kurang lebih lima bulan sejak pertengahan tahun 2014, saya didera rutinitas dan kehidupan harian yang terus-menerus hadir tak habis-habis. Tahun 2014 bagi saya adalah tahun yang begitu intens, ada banyak momen penting/tidak penting, baik/buruk, mujur/sial, serta terang/gelap yang saya alami. Lebih dari itu, kehidupan sehari-hari saya adalah ruwet dan profannya kota Depok/Jakarta/Tangerang Selatan. Karena saya kost di Depok, tentu saya harus buang jauh-jauh harapan untuk dapat menikmati kota yang tenang dan ramah tiap kali saya lewat di ruas jalan Margonda yang, Demi Tuhan, menyebalkan setengah mati. Di luar lingkaran jumud rutinitas Kampus-UI-Depok, saya sadari bahwa realitas yang saya hidupi adalah realitas kota besar. Sebuah realitas di mana manusia-manusia yang ada di dalamnya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti cepatnya kehidupan metropolitan berputar; kita adalah makhluk eksistensialis setengah-setengah yang tak kuasa melawan perputaran arus kejadian. Saya adalah bagian dari manusia-manusia tersebut. Pula realitas metropolitan yang kita hidupi adalah realitas yang hanya mengenal satu sistem bahasa, yaitu bahasa kapital. Cara kita berbahagia tak lebih dari akal-akalan komodifikasi belaka. Identitas dan eksistensi kita hanya dapat diukur dari kurva perputaran modal dan seberapa tinggi kita bisa menanjaki kelas sosial. Kehidupan metropolitan yang saya hidupi adalah kehidupan yang dibangun di atas realitas yang berlapis-lapis. Padat, silau, sebuah pameran visual yang penuh namun tak ada memiliki kedalaman nilai. Tentu kehidupan yang demikian adalah kehidupan yang perlu dicarikan jalur kabur.

Monday, January 19, 2015

Bunder-Gresik

20.04

Apa gerangan ia yang tersembunyi, di balik gerimis tenang dan malam pucat?

(2015, dari sudut emperan toko di sekitar Bunder-Gresik)