Awal
Saya rindu menulis tentang kegetiran
dan keputusasaan. Seperti selalu saya ulang-ulang, saya menganggap bahwa hidup
saya akhir-akhir ini berjalan dengan cukup menyenangkan serta baik-baik saja.
Saya tak mengharapkan mampirnya duka dan tragedi ke hadapan saya, tentu. Namun,
saya memeluk keyakinan bahwa hidup yang melulu dijejali kesenangan yang tumpah
ruah, adalah hidup yang tumpul dan beku rasa. Terlalu banyak bersenang-senang
akan membuat kepekaan runtuh dan ia menjadi tempat subur untuk tumbuhnya
alienasi yang sempurna; terpisahnya diri dari kenyataan yang hidup sesak di
sekitarnya. Saya selalu berdoa agar saya selalu dijauhkan dari hidup yang
demikian; hidup yang terus menghisap penganutnya dalam pusaran konsumsi tak ada
ujung. Hidup yang membuat manusia menjadi memiliki arti hanya ketika ia
mengkonsumsi barang dan jasa tertentu sesuai kelas tertentu. Hidup yang, bagi
saya, mencerabut manusia dari esensi keberlahirannya di dunia. Saya percaya
bahwa saya disebut manusia karena saya mampu merasa dan mencinta. Manusia
menjadi manusia ketika ia mengenal empati dan kasih sayang; sehingga, empati
dan kasih sayang mendefinisikan manusia.
Hidup sebaiknya disusun dari
perasaan-perasaan yang tidak monolitik. Tidak baik jika kau senang terus,
karena kau akan lupa rasanya menderita. Juga tidak baik jika kau sedih
berkepanjangan, karena kau akan mati cepat. Setiap bangun pagi hari, saya butuh
keberanian, kebahagiaan, semangat, dan keyakinan dalam dosis tinggi agar saya
bisa melanjutkan hidup. Namun, saya juga perlu sekian dosis ketakutan,
kekhawatiran, kesedihan, kesepian, serta segala jenis emosi “gelap” lain, agar
saya tetap bisa memanggil diri saya manusia, yang boleh menyerah dan tak
selamanya diliputi optimisme. Olah jiwa dan perasaan manusia baru terlihat
nyata ketika ia dihadapkan pada kesusahan yang menimpa manusia lainnya. Karenanya, saya ulang lagi tesis saya di
paragraf pertama: manusia menjadi manusia hanya apabila ia mampu merasa.
Pengalaman mengikuti Aksi Kamisan telah banyak melatih kepekaan merasa saya,
karena ia membuat saya mampu meraba perasaan-perasaan asing yang muncul dari
pojok benak saya.
Selama Agustus 2015 ini, saya
mengikuti dua kali Aksi Kamisan. Bagi yang belum mengetahui, Aksi Kamisan
adalah aksi diam yang digelar oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
masa lalu di depan Istana Merdeka. Para peserta aksi selalu memakai pakaian
hitam tanda kedukaan, serta menyunggi payung hitam bertuliskan tuntutan kepada
negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (Peristiwa 1965,
Tragedi Talangsari, Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II, serta Kasus
Penghilangan Paksa adalah beberapa diantaranya). Di akhir aksi biasanya dibuka
kesempatan bagi para peserta aksi untuk menceritakan refleksinya selama
mengikuti aksi. Aksi Kamisan berlangsung selama satu jam kurang lebih, tidak
terlalu lama. Dua kali Aksi Kamisan itu saya ikuti, dua kali pula saya
merasakan kegetiran yang sama. Kegetiran yang tak mampu saya bikin terang dan selalu
membuat saya terdiam selama perjalanan pulang dari depan Istana Merdeka.
Kegetiran yang ditinggalkan Aksi
Kamisan adalah kegetiran yang khas dan saya merasa sangat awam terhadapnya. Kegetiran
itu menyeruak dari keputusasaan saya kepada niat baik negara untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Bayangkan, hingga
Kamis lalu (20 Agustus 2015), Aksi Kamisan telah menginjak umurnya yang ke-408.
Artinya, para korban dan keluarga korban telah berdiri di depan Istana Merdeka
selama 408 kali hari Kamis! Juga, tidakkah dapat kita lihat pemilihan tempat
Aksi Kamisan di Istana Merdeka, adalah sepenuhnya pemilihan tempat aksi yang sangat
simbolik: ia menggugat kelambanan negara tepat diwajahnya. Aksi Kamisan adalah
upaya menyorotkan petisi pemenuhan keadilan bagi korban yang diarahkan langsung
ke bola mata negara. Namun ternyata hingga Kamis ke-408, negara masih belum mau
mendengar dan tuntutan-tuntutan yang digurat di payung-payung hitam para peserta
Aksi Kamisan masih kurang terang untuk membuat mata negara silau.
Saya juga merasakan perasaan aneh
lain. Perasaan ketika diri dijadikan tontonan. Kami, para peserta aksi, berdiri
dan berbaris di pinggir jalan seberang Istana Merdeka dengan raut wajah datar
dan sebidang payung hitam menutupi kepala. Kami melakukan ini di depan
kemacetan jalan seberang Istana Merdeka, di depan warga Jakarta yang buru-buru
pulang ke rumah dengan berbagai macam alat transportasi. Entah apa yang mereka
lihat pada kami, entah apa yang mereka tangkap dan rasa. Kami tak pernah tahu
apa arti pandangan asing yang mereka layangkan pada kami ketika mobil sedan berkabin
dingin yang mereka naiki tepat berhenti di hadapan kami, tak dapat bergerak
karena kemacetan belum terurai. Saya takut sekali bahwa Aksi Kamisan hanya
menjadi atraksi dan tontonan bagi mereka yang melewati kami. Apakah dengan
menyunggi payung-payung hitam itu, kami telah berhasil membuat mereka peduli
dan tersentuh? Apakah orang-orang berpakaian hitam yang berdiri berbaris di
seberang Istana Merdeka ini sukses membuat mereka yang melintas menyadari bahwa
sejarah negeri ini tidak lurus-lurus saja dan masih ada keadilan yang belum diupayakan
negara? Apakah mereka yang melintas melihat kami hanya sebatas sebuah atraksi
kota yang kekurangan penonton? Sesungguhnya, saya tak mampu dan tak berani
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Perihal Memelihara Kenangan
Saya terkagum-kagum dengan Ibu
Sumarsih, ibu dari Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang meninggal saat
Tragedi Semanggi I. Juga kekaguman yang sama kepada orang tua dan keluarga
korban lain. Sungguh menggetarkan hati melihat keteguhan Bu Sumarsih dan
keluarga korban lainnya yang telah mengabdikan belasan bahkan puluhan tahun
hidup mereka untuk memperjuangkan keadilan bagi anggota keluarga mereka, yang
telah meninggal atau hilang. Saya melihat bahwa perjuangan ini berasal dari
tekad perlawanan yang keras dan membatu. Tekad itu tidak lahir semata-mata dari
kedongkolan dan kemarahan luar biasa terhadap kesewenang-wenangan negara yang melanggar
hak warga negaranya, namun ia dihidupkan oleh alasan yang bahkan lebih subtil
dan personal: keinginan merawat kenangan akan mereka yang dibunuh dan
dihilangkan. Bagaimana seorang perempuan yang tak lagi muda seperti Bu Sumarsih
mampu untuk selalu hadir dalam setiap Aksi Kamisan dan suaranya tak pernah
tenggelam ia teriakkan demi keadilan bagi anaknya dan semua korban lain? Perjuangan
Bu Sumarsih adalah perjuangan yang diberi nafas oleh ingatan dan cinta
menjaganya agar terus hidup.
Ketersadaran saya terhadap cinta dan
ketegaran seorang ibu seperti yang ditunjukkan oleh Bu Sumarsih, membawa saya
pada gumaman yang pernah saya ucapkan ke seorang teman di samping saya saat
Aksi Kamisan ke-407: “Andai kita dibunuh atau dihilangkan paksa pada waktu itu,
dapatkah kamu menjawab pertanyaan mengenai apa yang mungkin orang tua kita
lakukan saat ini?”. Kami berdua bersepakat dan membalas pertanyaan tersebut
dengan jawaban lirih: “Saya yakin mereka akan ada di sini, di Aksi Kamisan,
menjaga memori tentang kita. Mereka akan terus ke sini untuk memelihara cinta mereka
pada kita, yang telah meninggal atau hilang. Mereka akan berdiri di sini
bersama Bu Sumarsih”.
Karena Aksi Kamisan, saya telah
merasakan kegetiran, maka saya bahagia. Saya bahagia karena hati saya masih
cukup peka untuk merasa. Saya tersenyum karena saya yakin perlawanan disemangati
oleh memori dan cinta. Saya gembira karena saya yakin, saya masih manusia.
*gambar diambil dari https://pbs.twimg.com/media/CLty0nEUEAARjFx.jpg
(dimuat di Midjournal)
*gambar diambil dari https://pbs.twimg.com/media/CLty0nEUEAARjFx.jpg
(dimuat di Midjournal)
No comments:
Post a Comment