Tentang

Sunday, August 23, 2015

Aksi Kamisan dan Menulis tentang Kegetiran



Awal  
Saya rindu menulis tentang kegetiran dan keputusasaan. Seperti selalu saya ulang-ulang, saya menganggap bahwa hidup saya akhir-akhir ini berjalan dengan cukup menyenangkan serta baik-baik saja. Saya tak mengharapkan mampirnya duka dan tragedi ke hadapan saya, tentu. Namun, saya memeluk keyakinan bahwa hidup yang melulu dijejali kesenangan yang tumpah ruah, adalah hidup yang tumpul dan beku rasa. Terlalu banyak bersenang-senang akan membuat kepekaan runtuh dan ia menjadi tempat subur untuk tumbuhnya alienasi yang sempurna; terpisahnya diri dari kenyataan yang hidup sesak di sekitarnya. Saya selalu berdoa agar saya selalu dijauhkan dari hidup yang demikian; hidup yang terus menghisap penganutnya dalam pusaran konsumsi tak ada ujung. Hidup yang membuat manusia menjadi memiliki arti hanya ketika ia mengkonsumsi barang dan jasa tertentu sesuai kelas tertentu. Hidup yang, bagi saya, mencerabut manusia dari esensi keberlahirannya di dunia. Saya percaya bahwa saya disebut manusia karena saya mampu merasa dan mencinta. Manusia menjadi manusia ketika ia mengenal empati dan kasih sayang; sehingga, empati dan kasih sayang mendefinisikan manusia. 

Hidup sebaiknya disusun dari perasaan-perasaan yang tidak monolitik. Tidak baik jika kau senang terus, karena kau akan lupa rasanya menderita. Juga tidak baik jika kau sedih berkepanjangan, karena kau akan mati cepat. Setiap bangun pagi hari, saya butuh keberanian, kebahagiaan, semangat, dan keyakinan dalam dosis tinggi agar saya bisa melanjutkan hidup. Namun, saya juga perlu sekian dosis ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, kesepian, serta segala jenis emosi “gelap” lain, agar saya tetap bisa memanggil diri saya manusia, yang boleh menyerah dan tak selamanya diliputi optimisme. Olah jiwa dan perasaan manusia baru terlihat nyata ketika ia dihadapkan pada kesusahan yang menimpa manusia lainnya.  Karenanya, saya ulang lagi tesis saya di paragraf pertama: manusia menjadi manusia hanya apabila ia mampu merasa. Pengalaman mengikuti Aksi Kamisan telah banyak melatih kepekaan merasa saya, karena ia membuat saya mampu meraba perasaan-perasaan asing yang muncul dari pojok benak saya.

Simbolik dan (Bukan) Atraksi Kota
Selama Agustus 2015 ini, saya mengikuti dua kali Aksi Kamisan. Bagi yang belum mengetahui, Aksi Kamisan adalah aksi diam yang digelar oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di depan Istana Merdeka. Para peserta aksi selalu memakai pakaian hitam tanda kedukaan, serta menyunggi payung hitam bertuliskan tuntutan kepada negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (Peristiwa 1965, Tragedi Talangsari, Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II, serta Kasus Penghilangan Paksa adalah beberapa diantaranya). Di akhir aksi biasanya dibuka kesempatan bagi para peserta aksi untuk menceritakan refleksinya selama mengikuti aksi. Aksi Kamisan berlangsung selama satu jam kurang lebih, tidak terlalu lama. Dua kali Aksi Kamisan itu saya ikuti, dua kali pula saya merasakan kegetiran yang sama. Kegetiran yang tak mampu saya bikin terang dan selalu membuat saya terdiam selama perjalanan pulang dari depan Istana Merdeka.
  
Kegetiran yang ditinggalkan Aksi Kamisan adalah kegetiran yang khas dan saya merasa sangat awam terhadapnya. Kegetiran itu menyeruak dari keputusasaan saya kepada niat baik negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut. Bayangkan, hingga Kamis lalu (20 Agustus 2015), Aksi Kamisan telah menginjak umurnya yang ke-408. Artinya, para korban dan keluarga korban telah berdiri di depan Istana Merdeka selama 408 kali hari Kamis! Juga, tidakkah dapat kita lihat pemilihan tempat Aksi Kamisan di Istana Merdeka, adalah sepenuhnya pemilihan tempat aksi yang sangat simbolik: ia menggugat kelambanan negara tepat diwajahnya. Aksi Kamisan adalah upaya menyorotkan petisi pemenuhan keadilan bagi korban yang diarahkan langsung ke bola mata negara. Namun ternyata hingga Kamis ke-408, negara masih belum mau mendengar dan tuntutan-tuntutan yang digurat di payung-payung hitam para peserta Aksi Kamisan masih kurang terang untuk membuat mata negara silau.

Saya juga merasakan perasaan aneh lain. Perasaan ketika diri dijadikan tontonan. Kami, para peserta aksi, berdiri dan berbaris di pinggir jalan seberang Istana Merdeka dengan raut wajah datar dan sebidang payung hitam menutupi kepala. Kami melakukan ini di depan kemacetan jalan seberang Istana Merdeka, di depan warga Jakarta yang buru-buru pulang ke rumah dengan berbagai macam alat transportasi. Entah apa yang mereka lihat pada kami, entah apa yang mereka tangkap dan rasa. Kami tak pernah tahu apa arti pandangan asing yang mereka layangkan pada kami ketika mobil sedan berkabin dingin yang mereka naiki tepat berhenti di hadapan kami, tak dapat bergerak karena kemacetan belum terurai. Saya takut sekali bahwa Aksi Kamisan hanya menjadi atraksi dan tontonan bagi mereka yang melewati kami. Apakah dengan menyunggi payung-payung hitam itu, kami telah berhasil membuat mereka peduli dan tersentuh? Apakah orang-orang berpakaian hitam yang berdiri berbaris di seberang Istana Merdeka ini sukses membuat mereka yang melintas menyadari bahwa sejarah negeri ini tidak lurus-lurus saja dan masih ada keadilan yang belum diupayakan negara? Apakah mereka yang melintas melihat kami hanya sebatas sebuah atraksi kota yang kekurangan penonton? Sesungguhnya, saya tak mampu dan tak berani menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Perihal Memelihara Kenangan
Saya terkagum-kagum dengan Ibu Sumarsih, ibu dari Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang meninggal saat Tragedi Semanggi I. Juga kekaguman yang sama kepada orang tua dan keluarga korban lain. Sungguh menggetarkan hati melihat keteguhan Bu Sumarsih dan keluarga korban lainnya yang telah mengabdikan belasan bahkan puluhan tahun hidup mereka untuk memperjuangkan keadilan bagi anggota keluarga mereka, yang telah meninggal atau hilang. Saya melihat bahwa perjuangan ini berasal dari tekad perlawanan yang keras dan membatu. Tekad itu tidak lahir semata-mata dari kedongkolan dan kemarahan luar biasa terhadap kesewenang-wenangan negara yang melanggar hak warga negaranya, namun ia dihidupkan oleh alasan yang bahkan lebih subtil dan personal: keinginan merawat kenangan akan mereka yang dibunuh dan dihilangkan. Bagaimana seorang perempuan yang tak lagi muda seperti Bu Sumarsih mampu untuk selalu hadir dalam setiap Aksi Kamisan dan suaranya tak pernah tenggelam ia teriakkan demi keadilan bagi anaknya dan semua korban lain? Perjuangan Bu Sumarsih adalah perjuangan yang diberi nafas oleh ingatan dan cinta menjaganya agar terus hidup.

Ketersadaran saya terhadap cinta dan ketegaran seorang ibu seperti yang ditunjukkan oleh Bu Sumarsih, membawa saya pada gumaman yang pernah saya ucapkan ke seorang teman di samping saya saat Aksi Kamisan ke-407: “Andai kita dibunuh atau dihilangkan paksa pada waktu itu, dapatkah kamu menjawab pertanyaan mengenai apa yang mungkin orang tua kita lakukan saat ini?”. Kami berdua bersepakat dan membalas pertanyaan tersebut dengan jawaban lirih: “Saya yakin mereka akan ada di sini, di Aksi Kamisan, menjaga memori tentang kita. Mereka akan terus ke sini untuk memelihara cinta mereka pada kita, yang telah meninggal atau hilang. Mereka akan berdiri di sini bersama Bu Sumarsih”.
             
Karena Aksi Kamisan, saya telah merasakan kegetiran, maka saya bahagia. Saya bahagia karena hati saya masih cukup peka untuk merasa. Saya tersenyum karena saya yakin perlawanan disemangati oleh memori dan cinta. Saya gembira karena saya yakin, saya masih manusia.           

*gambar diambil dari https://pbs.twimg.com/media/CLty0nEUEAARjFx.jpg

(dimuat di Midjournal)

No comments:

Post a Comment