Tentang

Saturday, May 16, 2015

Seputar Pertambahan Umur, Buku-buku, dan Keabsurdan

Baru lewat pukul 16.00. Saya telah di rumah sejak Kamis lalu. Kepulangan saya juga disertai dengan tubuh terlanda demam dan flu yang hingga hari ini belum pulih sepenuhnya. Seharusnya saat ini saya mengerjakan satu tugas mata kuliah Hukum Lingkungan. Namun karena mood menulis tugas tak kunjung datang (saya pun lagi tak sehat-sehat amat), daripada saya tidak ada kerjaan, lebih baik saya cerita saja di sini mengenai momen-momen di sekitar pertambahan umur saya (dan saya berjanji kepada diri saya sendiri untuk menyelesaikan tugas itu setelah tulisan ini selesai).

Sepuluh hari lalu saya bertambah umur yang ke 21 (sudah lewat umur 20, apa yang telah saya bikin?). Oci bertambah umur juga pada waktu yang berdekatan (kami hanya beda tiga hari). Hari-hari lewat dengan baik-baik saja. Banyak terjadi hal-hal menyenangkan bahkan: perayaan pertambahan umur dengan Oci; kejutan kue ulangtahun oleh Kelompok Praktek Hukum Pidana saya; dan juri menilai bahwa kelompok Praktek Hukum Pidana kami adalah salah satu yang terbaik. 

Dalam waktu semingguan ini, saya juga berhasil mendapatkan beberapa buku yang pula saya anggap suatu kegembiraan dan keseruan tersendiri. Buku-buku tersebut adalah Taxi Blues (komik dengan cerita dari Seno Gumira, tak terlalu mengesankan), Bukan Pasarmalam-nya Pram (sudah selesai saya baca, ini pertama kali saya tamat membaca Pram setelah tak sempat menyelesaikan Bumi Manusia sekitar tiga tahun lalu), Koong-nya Iwan Simatupang (telah selesai saya baca juga), dan Sebuah Kitab yang Tak Suci-nya Puthut EA (belum selesai saya baca, mungkin nanti saya tamatkan). Terakhir, Rabu lalu, alhamdulillah, saya akhirnya berhasil juga mendapatkan buku "Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945" tulisan seorang yang sangat terpelajar, Pak Ananda B. Kusuma. Buku ini memiliki tempat istimewanya sendiri di hati saya. Saya pertamakali mengetahui buku ini pada tahun pertama saya di FHUI, saat itu kami sedang riset tentang dinamika pembahasan mengenai pendidikan saat perumusan UUD 1945 dan buku ini menjadi salah satu referensi utamanya. Sejak saat itu saya selalu ingin memiliki buku ini sebab saya begitu tertarik dengan dialektika pemikiran para Pendiri Bangsa (frasa "the Founding Fathers" terdengar terlalu patriarkik dan falosentrik, bukan?) saat merumuskan Konstitusi. Buku ini beberapa kali ada stoknya di Koperasi Mahasiswa FHUI, namun selalu terlewatkan oleh saya (harganya - kalau tidak salah - Rp. 135.000,00 - selalu tak terjangkau oleh saya).

Sekian tahun kemudian, tepatnya pada awal tahun 2015 ini, saya kembali berkelindan nasib dengan buku ini. Kala itu saya menjadi Ketua Delegasi Constitutional Drafting FHUI yang alhamdulillah berhasil meraih Juara I Kompetisi Constitutional Drafting - Sidang Semu MPR RI pada Padjadjaran Law Fair 2015 gelaran Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Buku ini dan beberapa buku lain menjadi referensi utama kami. Sungguh saya rasa bahwa buku ini adalah artefak sejarah yang tak ternilai harganya untuk siapapun yang tertarik dengan pemikiran-pemikiran para Pendiri Bangsa. Pasca lomba, sekitar satu bulan saya bolak-balik Koperasi Mahasiswa FHUI untuk menanyakan apakah masih ada stok buku ini yang dijual. Selama satu bulan itu stok buku ini tak pernah ada, perkiraan saya bukunya telah habis. Akhirnya saya coba mengontak Pak Ananda (penulisnya) secara langsung. Ada sekitar dua minggu saya berhubungan dengan beliau dan akhirnya Rabu lalu saya berhasil mendapatkan bukunya (langsung dari Pak Ananda dan ditandatangani juga oleh beliau!). Bagi saya, buku ini adalah salah satu buku terpenting yang saya miliki pada masa kuliah (mungkin juga sebuah penanda atas karir prestasi akademik saya).

Lalu, saya hendak bercerita sedikit tentang seorang penulis yang begitu saya kagumi, Iwan Simatupang. Buku pertama Iwan yang saya baca adalah Ziarah. Selesai dalam waktu tiga hari. Dalam membacanya saya tak henti-henti kaget dan terpana (ini bukan sok-sok hiperbolik) dengan alur cerita dan gaya penulisan Iwan yang begitu cerdas dan unik. Tokoh-tokoh dalam Ziarah kental sekali nuansa psikologis dan filsafat eksistensialisme (manusia perbatasan?). Sebagai pembaca pemula yang tertarik dengan eksistensialisme, tentu buku ini menjadi suatu pencerahan tersendiri buat saya. Tokoh-tokoh dalam Ziarah terasa begitu absurd dan irasional, namun yang absurd dan irasional adalah suatu realitas sehari-hari. Bukankah setiap dari kita adalah orang yang absurd dan irasional pula? 

Sudah pula saya ceritakan di atas, bahwa saya telah selesai membaca Kooong, yang sering dianggap sebagai novel Iwan yang paling ringan. Novel ini meninggalkan kesan serius pula di benak saya. Saya jatuh cinta dengan karakter Pak Sastro dan perjalanan "pencarian"-nya, berkali-kali membuat saya terdiam dan merasa bahwa pilihan Pak Sastro yang absurd adalah suatu hal yang wajar dan masuk akal! Tokoh Perkutut dalam Kooong yang diceritakan dapat berpikir dan memiliki kehendak bebas terhadap kehidupannya menurut saya merupakan kritik terhadap logika Pencerahan-nya Cartesian. Manusia terlalu egois, kita bukanlah segalanya.

Selepas membaca Kooong (sekitar pukul 03.00 dinihari), tiba-tiba saya memiliki kehendak asing untuk membaca tiga buku Iwan yang lain: Merahnya Merah, Kering, dan Tegak Lurus dengan Langit. Bahkan saya hendak menunggu pagi datang dan tepat pada pukul 08.00 langsung ke Perpustakaan Pusat UI untuk meminjam buku-buku tersebut dan memfotokopinya! Ini absurd. Dan yang absurd itu nyata. Meskipun akhirnya rencana ini tak terlaksana (saya bangun pukul 11.30), namun saya tetap meminjam buku-buku tersebut dan memfotokopinya. Fotokopian tiga buku ini masih saya baca dan masih saya coba tamatkan.

Untuk menutup tulisan ini, saya hendak mengutip Iwan dalam Merahnya Merah:

Aku hidup terus menerus di ujung tajam dari saraf-saraf dan panca inderaku. Fisik aku harus banyak menanggung, memang. Tapi, asal saja kita berhasil melampaui persoalan fisik ini, maka hidup seperti inipun adalah setidaknya satu bentuk dan cara hidup tersendiri pula dan mempunyai segala haknya untuk juga disebut berbahagia. Agaknya inilah bumi dari kaum fakir, kaum pertapa, para mistikus, yang membuat mereka selalu suka mencari daerah-daerah pelik dari kehidupan dan mempertontonkan rasa kebahagiaan yang asing bagi manusia-manusia-manusia dari kondisi kehidupan yang biasa. Kini, tanpa ragu-ragu dapatlah aku berkata, inilah juga bumi kami kaum gelandangan. Inilah inti persoalan kaum gelandangan, di bagian mana sajapun dari bumi ini mereka berada. Mereka adalah manusia-manusia yang bagi diri mereka sendiri telah berhasil membuat neraka menjadi surga di bumi ini.
(dan setelah ini saya masih harus menunaikan janji untuk menuntaskan tugas. Amor fati.)


(17.05, 16 Mei 2015. Saya sudah makin tua).

No comments:

Post a Comment