Tentang

Friday, October 9, 2015

Dua Tesis tentang Cantik


*

Istilah “cantik” dalam argumen singkat ini menunjuk pada kerupawanan paras perempuan sekaligus laki-laki. Selain karena akan terlalu panjang dan – kata seorang teman yang bertani kopi di Jatinangor – “tak dapat prosanya” jika memaksakan menyebut “cantik dan ganteng”, saya juga mencurigai bahwa istilah “ganteng” atau “tampan” hanyalah bahasa yang dicari-cari saja untuk menemukan padanan istilah “cantik” untuk laki-laki. Padahal, ketiganya sama-sama menerangkan tentang paras yang rupawan, atau, menurut Google Translate: “pleasing the senses or mind aesthetically”.

1.

Ada mitos yang harus diuji (dan dipatahkan jika terbukti keliru) pada setiap pelabelan (labeling) yang dianggitkan pada seseorang. Menantang  mitos perlu dilakukan karena saking berurat-akarnya, mitos itu kadung menjadi hegemoni. Pada hegemoni, terdapat kesadaran palsu serupa kewarasan yang tertutup asap dan terhadapnya, harus diadakan pengungkapan kebenaran.

Masyarakat, setidaknya berdasarkan teori pelabelan yang tadi pagi saya pelajari di kelas Kriminologi dan Viktimologi, adalah entitas yang suka mengambil peran sebagai hakim dan merasa dirinya paling benar. Dalam perspektif yang sangat strukturalis, masyarakat diteorikan sebagai suatu struktur pencemburu yang gerah jika melihat ada seseorang di dalam tubuhnya yang “menyimpang”.

Dengan mengecualikan penyimpangan berupa pelanggaran hukum, ada kemapanan mitos dan ideologi yang harus didekonstruksi pada cara struktur memahami “penyimpangan”. Apa itu perilaku “menyimpang”? Siapa itu yang melakukan “penyimpangan”? Definisi kedua hal tersebut sepenuhnya berada di tangan masyarakat. Maka, nasib sial tertimpakan pada mereka yang  unik dan berbeda. Karena, atas nama keseragaman,  ketidakmenyimpangan, dan moralitas masyarakat, mereka yang unik dan berbeda tersebut harus siap dicap sebagai pelaku penyimpangan dan kalau perlu dikucilkan jika tidak mau insyaf dengan mengikuti jalan lurus yang ditentukan secara sepihak oleh masyarakat.

Selayaknya pada vonis tentang apa yang lurus dan apa yang menyimpang, masyarakat (sebagai struktur di mana keunggulan laki-laki dipertahankan)  juga membuat vonis seenaknya tentang apa yang cantik dan apa yang buruk. Dalam menentukan yang “cantik” dan yang “buruk”, masyarakat mengambil pengaruh dari mana saja. Citra “cantik” arus-utama ditentukan dari hibrida fantasi dan imajinasi tentang makna “cantik” menurut iklan-iklan produk kecantikan, pesona artis-artis layar televisi (dengan kehidupan serba sempurnanya), dan dalam konteks perempuan, standarisasi kecantikan ala Miss Universe serta boneka Barbie.  

“Cantik” kemudian menjadi narasi yang dipaksakan. Ia menjadi sistem tertutup yang menolak representasi makna alternatif yang berbeda dengan makna “cantik” yang masyarakat tentukan. “Cantik” yang kontekstual adalah “cantik” yang maknanya tidak dimonopoli. Dengan begitu, makna “cantik” seharusnya inklusif dan tidak tunggal. Tesis ini tidak saya simpulkan sebagai argumen penghiburan  untuk orang yang – menurut masyarakat – tidak terlalu cantik, namun lebih dari itu. Saya menduga, berkembangnya persepsi terhadap ketidaktunggalan makna “cantik” dapat menjadi indikator penting terpenuhinya tujuan depatriarkisasi masyarakat.

2.

Pemaksaan makna “cantik” secara egoistik adalah satu masalah. Ketika status kecantikan menjadi patokan moral kitadalam memperlakukan orang lain, timbul masalah lain: apakah menjadi cantik (dengan apapun maknanya) adalah hal yang penting dan diperlukan (necessary)?

Meski mungkin tak terlalu nyambung, agaknya cukup menarik untuk menukil sedikit tentang politik pengakuan Axel Honneth dalam merekonstruksi cara kita memandang dan memperlakukan individu lain sebagai subjek. Konsep politik pengakuan Honneth yang ia kembangkan dari pemikiran Hegel, adalah tiga bentuk pengakuan timbal balik, yaitu: cinta (love), tatanan hukum (legal order), dan solidaritas (solidarity).

Pengakuan timbal balik berdasarkan cinta, misalnya, mensyaratkan dibangunnya “hubungan atau relasi yang memungkinkan diri subjek meraih kembali pengakuan atas kehormatan dan harga dirinya”, di mana relasi itu hanya dapat dicapai dalam hubungan yang penuh penghargaan dan positif. Dengan begitu, hubungan yang positif pastilah dilahirkan dari interaksi individu yang memandang individu lain sebagai subjek yang sama setara dengan dirinya.

Lantas, apa hubungannya politik pengakuan Honneth dengan persepsi tentang kecantikan?

Konsekuensi upaya mendekonstruksi makna “cantik” yang egoistik adalah terjadinya kelimpungan, karena makna “cantik” menjadi begitu banyak dan inklusif (bukankah itu adalah hal yang diinginkan?). Dalam situasi tersebut, saya rasa pikiran untuk membangun relasi dengan individu lain hanya berdasarkan pada status kecantikannya adalah sesuatu yang sangat picik. Pikiran seperti itu mereduksi subjek hanya sebagai tampilan kulitnya saja; relasi yang penuh penghargaan dan positif tak mungkin dilahirkan dari motivasi macam begini.

Saya jadi sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika status kecantikan seseorang (apapun maknanya) menentukan bagaimana cara ia diperlakukan dan bagaimana relasi dengannya dibangun, maka menjadi cantik (lagi-lagi, apapun maknanya) tidaklah penting dan diperlukan.

---

Catatan:

Kutipan mengenai Axel Honneth diambil dari Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 40-46. Gambar diambil dari timeline akun Line adik sepupu saya yang sedang beranjak remaja. Teks ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari percakapan saya dengan Aussielia beberapa waktu lalu, sehingga beberapa pandangannya terkandung pula dalam teks ini.

Oh ya, teks ini mungkin saja prematur. Masukan untuk melengkapi, mengkritisi, juga mendekonstruksi teks ini sangat saya tunggu.

No comments:

Post a Comment