Tentang

Monday, January 26, 2015

Refleksi Pasca Pantura

Pulang

Jumat dini hari lalu, saya baru sampai di rumah setelah perjalanan delapan hari menyusuri kota-kota di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa bersama empat orang teman. Kami memulai perjalanan dari Cirebon hingga Surabaya. Pada awalnya, ada rencana untuk mengakhiri perjalanan di Banyuwangi, titik paling timur Pantura. Namun, karena kombinasi dari tipisnya kapital, terbatasnya waktu dan urgennya keperluan mengisi IRS, kami memutuskan untuk tidak melaksanakan ide ini. Jadilah kami memilih Surabaya sebagai perhentian terakhir, yang kami rasa cukup mudah mengakses moda transportasi untuk kembali ke Jakarta di kota itu. Total ada sembilan kota yang sempat kami singgahi, yaitu Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya. Tulisan ini tak saya maksudkan sebagai narasi detail mengenai perjalanan saya, hal yang demikian mungkin akan saya lakukan kemudian hari. Juga, tulisan ini bukanlah catatan kolektif yang merangkum cerita dari pandangan-pandangan kami berlima sebagai pelaku perjalanan.Tulisan ini saya buat setidak-tidaknya untuk keperluan personal saya sendiri; upaya untuk mengekalkan kesan, rasa dan pandangan terhadap tiap-tiap kota yang saya singgahi. Oleh karena sifatnya yang begitu personal, tulisan ini mungkin saja dirasa tak penting oleh pembaca. Tak apa, saya hanya sedang belajar berjalan sedikit jauh dari rumah, dan inilah pertanggungjawaban saya.

Sebermula

Keinginan mengadakan perjalanan kali ini bukan hanya didasarkan atas keinginan berlibur saja; untuk saya pribadi, alasannya jauh lebih penting dari itu. Selama kurang lebih lima bulan sejak pertengahan tahun 2014, saya didera rutinitas dan kehidupan harian yang terus-menerus hadir tak habis-habis. Tahun 2014 bagi saya adalah tahun yang begitu intens, ada banyak momen penting/tidak penting, baik/buruk, mujur/sial, serta terang/gelap yang saya alami. Lebih dari itu, kehidupan sehari-hari saya adalah ruwet dan profannya kota Depok/Jakarta/Tangerang Selatan. Karena saya kost di Depok, tentu saya harus buang jauh-jauh harapan untuk dapat menikmati kota yang tenang dan ramah tiap kali saya lewat di ruas jalan Margonda yang, Demi Tuhan, menyebalkan setengah mati. Di luar lingkaran jumud rutinitas Kampus-UI-Depok, saya sadari bahwa realitas yang saya hidupi adalah realitas kota besar. Sebuah realitas di mana manusia-manusia yang ada di dalamnya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti cepatnya kehidupan metropolitan berputar; kita adalah makhluk eksistensialis setengah-setengah yang tak kuasa melawan perputaran arus kejadian. Saya adalah bagian dari manusia-manusia tersebut. Pula realitas metropolitan yang kita hidupi adalah realitas yang hanya mengenal satu sistem bahasa, yaitu bahasa kapital. Cara kita berbahagia tak lebih dari akal-akalan komodifikasi belaka. Identitas dan eksistensi kita hanya dapat diukur dari kurva perputaran modal dan seberapa tinggi kita bisa menanjaki kelas sosial. Kehidupan metropolitan yang saya hidupi adalah kehidupan yang dibangun di atas realitas yang berlapis-lapis. Padat, silau, sebuah pameran visual yang penuh namun tak ada memiliki kedalaman nilai. Tentu kehidupan yang demikian adalah kehidupan yang perlu dicarikan jalur kabur.

Saya terlempar pada satu ide untuk mengadakan perjalanan jauh yang melampaui ruang nyaman saya dengan menyusuri tempat-tempat yang belum saya kenal sebelumnya. Saya lalu menjatuhkan pilihan untuk menyusuri kota-kota di Pantura. Saya beruntung ide ini diiyakan oleh beberapa teman sehingga perjalanan ini diikuti oleh lima orang dari kami. Alasan memilih Pantura sebenarnya tak lepas dari pengalaman saya yang sudah dua kali mengadakan perjalanan menyusuri jalur Pantai Selatan Pulau Jawa, pada pertengahan 2012 utamanya saya mengunjungi Yogyakarta dan Malang, dan pada awal 2014 saya meneruskan perjalanan ke Bali, juga bersama teman-teman saya tersebut. Jadi, Pantura mungkin akan menjadi hal baru. Saya hendak menggunakan istilah backpacking terhadap kegiatan yang kami lakukan dan menyebut diri kami sebagai backpacker, namun saya tak hendak berpretensi apa-apa semenjak dua kata tersebut menjadi begitu klise dan standar bagi orang-orang yang mengaku sebagai pelaku perjalanan. Saya dan teman-teman hanyalah lima pemuda ceroboh yang berjalan jauh dari kota asalnya dengan menyandang tas pundak. Sudah, tak lebih dari itu. 

Lalu, oh ini mungkin akan terdengar sangat klise dan corny, namun saya terpaksa katakan bahwa penentuan Pantura sebagai destinasi perjalanan, saya asosiasikan dengan harapan-harapan saya untuk menemukan bentuk-bentuk dan pola-pola kehidupan baru yang saya awam terhadapnya. Saya percaya bahwa setiap orang yang saya temui mengetahui hal yang saya tidak ketahui. Saya percaya bahwa kebanalan alur kehidupan saya di metropolitan perlu diobati dengan menapakkan kaki saya di tempat-tempat asing. Dan di tempat-tempat asing itu, saya akan belajar.

Menjadi Sang Liyan di Tanah Orang

Orang Jakarta mungkin menganggap bahwa kotanya adalah pusat dunia. Di Jakarta, pendatang dari daerah selamanya akan menganggap dirinya sebagai orang asing, sebagai Sang Liyan di tengah kebisingan kota yang susah sekali beradaptasi terhadapnya. Pengalaman menjadi Sang Liyan itu terus menerus saya rasakan selama perjalanan. Pada beberapa kota, kami sering dipandangi orang-orang di pinggir jalan saat kami lewat; karena tampilan kami yang menunjukkan ke-Jakarta-an kami? Entahlah, saya tak kunjung mendapat jawaban. Menjadi Sang Liyan berarti menjadi sebuah entitas yang berlaku dan berpikiran awam terhadap suatu realitas yang lain. Dalam alur perpindahan dari kota ke kota, saya tak dapat banyak menolong diri saya sendiri di hadapan realitas budaya dan masyarakat yang terus berganti. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh kota-kota kecil yang spontan jadi mati pada pukul 10 malam. Ada kesederhanaan dan kepasrahan hidup yang tidak berhasil saya mengerti sepenuhnya. Tentulah hal ini disebabkan oleh cara pandang saya yang masih berorientasi pada cara pandang orang kota; saya adalah orang asing yang menggunakan cara pandang asing di tanah-tanah asing.

Sebagai Sang Liyan di tanah orang, saya kerap tidak sadar sepenuhnya dengan kenyataan kota yang terbentang di hadapan saya. Saya tidak kaget dengan kota-kota kecil, dengan ornamen kota yang begitu sederhana dan asri. Bukan, bukan hal-hal itu yang menjadikan saya tidak sadar. Keinginan untuk terus menggali hal baru dan hal penting dari tiap-tiap kota akan menjadi destruktif ketika kita menjadikan kota kecil dan manusia di dalamnya sebagai objek. Ah, lagi-lagi saya memakai logika eksploitasi komoditas. Maafkan, saya hanya orang metropolitan di kota-kota asing.

Kontras

Di Tegal, saya menjumpai kenyataan yang menarik. Kami tiba di kota itu pukul 11 malam, ketika sampai kami langsung mencari alun-alun kota, saat itu Kamis malam. Di perjalanan menuju alun-alun, kami melihat bahwa terdapat setidaknya dua shopping mall dan gedung KFC serta McDonalds yang cukup besar. Dengan adanya hal-hal ini tentu saya beranggapan bahwa Tegal adalah kota yang sedang berkembang mengikuti modernitas. Sesampainya di alun-alun, kami keheranan. Tidak banyak pemuda-pemudi yang berkumpul, mungkin karena malam tersebut bukanlah Sabtu malam. Ada hal yang semakin membuat heran; kami tidak menemukan satupun tempat makan emperan di alun-alun yang menjual makanan khas Tegal, yang adalah warung bakso, nasi goreng dan pecel lele. Saya sendiri malam itu memilih untuk memakan siomay. Sungguh sebuah kekecewaan ketika mendatangi tempat yang sepatutnya menjadi poros kehidupan kota namun saya tidak dapat menemukan makanan yang menjadi penanda khas kota tersebut.

Ini merupakan imaji yang begitu kontras di mata saya. Di satu sisi, saya dihadapkan pada pemahaman bahwa Tegal adalah kota yang sedang berkembang dengan shopping mall dan gerai KFC serta McDonalds-nya, namun di sisi lain saya dihadapkan pula pada alun-alun kotanya yang, menurut saya, tidak semarak. Apakah ini adalah jejak-jejak transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat yang lebih modern? Saya tidak tahu. Saya tidak berdiam lama di Tegal sehingga saya tidak kompeten untuk membuat kesimpulan yang benar dan bertanggungjawab. Saya bertanya pada seorang teman, apa gerangan yang menyebabkan sepinya kota? Jawaban darinya lumayan beralasan: karena malam ini bukan malam Sabtu dan memang kota ini sepi. Ia pun beranggapan bahwa memang beginilah nasib kota-kota persinggahan di sekujur jalur Pantura, hanya terliput dan tersebut saat momen mudik Lebaran. Jawaban seorang teman ini juga belum tentu benar. Lagi-lagi, saya harus bilang bahwa kami hanyalah orang asing yang sok tahu dan sok mengerti mengenai tanah orang di kejauhan.

Cara Berbahagia?

Bagaimana cara manusia Jakarta berbahagia? Pergi ke shopping mall, makan cantik di Senopati, menonton konser mungkin adalah beberapa opsinya. Susah sekali menjadi orang Jakarta, bahkan tempat makan, buku bacaan dan musik yang didengarkan juga digunakan sebagai indikator eksistensi dan perbedaan kelas sosial antara yang elite dan yang kitsch, antara yang intelek dan rendahan, antara yang indie dan mainstream. Apa yang kita makan, baca, dan dengar adalah politik identitas. Manusia Jakarta adalah makhluk-makhluk yang selalu gelisah dan gamang. Saya, pada beberapa keadaan dan kemungkinan, juga merupakan salah satu bagian dari makhluk-makhluk tersebut. Ini menyedihkan sebab susah sekali untuk manusia metropolitan dalam mencari kebahagiaan. Apakah kebahagiaan harus selalu disamakan dengan pemuasan hasrat ala kapitalisme? Begitu sulitnyakah cara menjadi bahagia hingga manusia metropolitan harus mencari pusat-pusat perputaran uang untuk merasakan kebahagiaan barang sekepal?

Kemudian, apa gerangan yang terjadi di kota-kota kecil sepanjang Pantura? Pada Tegal, Pekalongan, Demak, Kudus dan Tuban (Cirebon, Semarang, Gresik, dan Surabaya dikecualikan), realitas yang terlihat adalah kehidupan kota kecil yang begitu sederhana dan tulus. Pusat kotanya kebanyakan adalah alun-alun kota, dengan gedung-gedung yang bisa dihitung dengan jari. Tidak ada shopping mall yang benar-benar besar, sehingga masyarakat-masyarakat kota tersebut tidaklah terlalu jauh terseret arus modernitas kota besar. Saya melihat bahwa inilah penyakit yang diderita oleh manusia metropolitan; kita tidak dapat menghargai kesederhanaan dan riuh rendah pada kota kecil. Karena terbiasa berbahagia di tengah gedung-gedung kokoh Jakarta, kita mengangap bahwa kota yang tidak memiliki gedung-gedung kokoh adalah kota yang tidak menarik dan seru untuk ditinggali. Kita kehilangan kemampuan merasakan hal-hal yang jauh dari gemerlap dan riuh metropolitan.

Penduduk kota-kota kecil adalah orang-orang yang tulus dan berdamai dengan nasib serta kehidupannya. Mereka adalah orang-orang yang berbahagia di kedai-kedai makan kecil di jalan-jalan pinggir kota. Mereka adalah orang-orang yang tidak memerlukan shopping mall mewah untuk berbahagia. Saya ingin sekali memiliki kemampuan untuk mengecap kehidupan dengan lebih rileks dan ikhlas seperti mereka.

Akhir
 
Catatan pendek yang saya tulis di atas adalah kesan-kesan kuat dalam menanggapi kota-kota di sekujur Pantura yang masih saya ingat dan saya rasa perlu untuk dituliskan. Mungkin saja di kemudian hari saya akan menambahkan beberapa detail kesan yang terlupa saya tuliskan malam ini. Biarlah catatan ini menjadi pengingat untuk saya dan mungkin saja bermanfaat untuk pembaca. Selamat malam.

(2:05, 26 Januari 2015. Tiga hari setelah pulang.)

No comments:

Post a Comment