Tentang

Sunday, August 9, 2015

Narasi Minor Jakarta Utara

Sabtu 8 Agustus 2015 adalah hari yang agak berbeda dibanding hari-hari lain. Kami tidak menghabiskan hari ini dengan deretan kelas hingga sore atau menjelang malam. Sabtu punya agenda yang menarik: Kenali Kotamu. Kenali Kotamu meminta kami untuk mengidentifikasi dan mendatangi 12 tempat di Jakarta yang punya sejarah tak terlalu mulus; mereka menyimpan memori pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi di sekujur tubuhnya. Malam sebelumnya, kami telah coba menalar 12 tempat yang tidak diberikan identitas lengkapnya dalam lembar panduan destinasi. 12 tempat itu dijelaskan dengan sedikit narasi dan petunjuk di bagian Jakarta mana ia berada. Tidak sampai enam tempat yang berhasil kami kunjungi.

Destinasi pertama yang kami tuju adalah kawasan Harco Glodok yang menjadi salah satu titik pengerahan massa tak dikenal (setidaknya ia “tak dikenal” menurut dokumen-dokumen resmi) saat kerusuhan Mei 1998. Pada 13-14 Mei 1998, massa tak dikenal diturunkan di tempat-tempat di Jakarta yang merupakan kantong pemukiman warga beretnis Tionghoa. Sejauh yang saya ingat dari dokumen hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)  Kerusuhan Mei 1998, setidak-tidaknya massa tak dikenal itu diturunkan di Grogol, Glodok, dan Tangerang. Kerusuhan juga terjadi di Medan, Solo, dan Yogyakarta, pula di kantong-kantong pemukiman warga peranakan Cina. Disebutkan bahwa massa tak dikenal ini memiliki ciri-ciri fisik yang relatif sama: berambut cepak, tegap, dengan beberapa orang yang ditengarai sebagai koordinator massa memegang handytalkie (saya rasa kita semua tahu kelompok mana dalam masyarakat yang memenuhi karakteristik tersebut).
Dalam banyak kerusuhan yang terjadi di antero Mei 1998, seringkali warga lokal bukanlah pihak yang memulai kerusuhan.  TGPF menemukan bahwa gerombolan massa tak dikenal inilah yang pertama kali menginisiasi konsentrasi kerusuhan massa. Adalah realita yang begitu nyata sekaligus pahit, bahwa mereka yang menjarah dalam kerusuhan adalah mereka yang diopresi oleh struktur sosial setiap harinya; mereka yang tidak mampu membeli alat-alat pemuas kebutuhan dengan cara wajar di masa wajar. Mereka hanya dapat meraih alat-alat tersebut dalam keadaan tanpa ketertataan dan keberaturan. Penjarahan yang mereka lakukan juga tidak sepenuhnya dilahirkan dari kehendak bebas, sebab mereka hanya berarti ketika telah menyatu jadi massa yang terkonsentrasi dan digerakkan oleh arus histeria hasil pantikan massa tak dikenal (yang bahkan bukan warga lokal!).

Kami melanjutkan perjalanan ke Kota Tua Jakarta dan Benteng Orde Batavia (Jakarta Lama). Di Kota Tua kami melihat bagaimana pusat peradaban kota mengulang keramaian dirinya. Museum Fatahillah yang dulu adalah Stadhuis dengan segala keriuhannya, memaknai kembali keramaian dan tumpukan-tumpukan interaksi manusia dalam bentuk yang baru dan kontemporer. Kota Tua adalah ruang terbuka di mana masyarakat mengidentifikasikan diri dan kotanya; diri manusia mengada bersama dengan mengadanya kota. Identitas kota perlu dirawat; detak jantungnya didukung oleh detak jantung manusia kota yang berlalu-lalang di dalamnya. Tujuan kedua dalam kawasan Kota Tua adalah bekas dinding benteng lama Jakarta. Sisa-sisa benteng itu berada di sekitar Jalan Tongkol. Banyak gedung-gedung yang dulunya merupakan simbol kebesaran VOC telah hilang atau berubah. Kantor VOC telah berubah menjadi restoran yang (terlihat) eksklusif. Benteng lama Jakarta adalah sketsa lahir dan matinya suatu peradaban.

Destinasi selanjutnya adalah Gereja Tugu, sebuah rumah ibadah bersejarah yang, demi Tuhan, letaknya seperti di ujung bumi. Jauh sekali dari peradaban. Dari Benteng lama Jakarta, kami mencarter satu angkot untuk mengangkut 14 orang. Butuh waktu 45 hingga 60 menit untuk sampai ke gereja tersebut. Gereja Tugu menarik karena ia merupakan salah satu gereja yang paling pertama didirikan di Hindia Belanda. Ia didirikan oleh komunitas Portugis di  Batavia. Di sana kami berbicara dengan salah seorang pengurus Gereja Tugu yang menceritakan sedikit cerita mengenai gereja itu. Di belakang Gereja Tugu, ada Kampung Tugu yang dihuni oleh banyak keturunan (“mestizo”, istilah yang dipakai oleh pengurus yang berbicara dengan kami) Portugis yang melakukan kawin campur dengan banyak etnis lokal nusantara. Tempat-tempat yang kami kunjungi ini kesemuanya memang terletak di Jakarta Utara.

Menjejak Jakarta Utara adalah pengalaman yang dekat, namun asing. Dekat, karena ia ada di depan mata dan dapat dicercap dengan indera. Asing, karena realitas yang ia sajikan tidak selalu wajar dan mudah diterima. Jakarta Utara adalah pojok Jakarta yang rumit dan dipenuhi oleh kenyataan yang berlapis-lapis. Lapisan-lapisan kenyataan itu membuatnya seperti kakek tua yang menyimpan banyak rahasia; butuh refleksi pelan-pelan terhadap lapis demi lapis realitas, demi mengurai dan menemukan realitas yang sebenarnya. Dan inilah realitas yang saya konsepsikan: Jakarta Utara adalah kekagetan-kekagetan bagi orang asing/luar, namun ia adalah yang-dipersepsikan-wajar oleh warga lokal. Warga lokal mengamini dan memeluknya sebagai realitas yang tadinya kasar, tajam dan tidak selalu wajar, menjadi realitas yang mau-tak-mau harus diikuti. Jakarta Utara telah memberikan kita suatu contoh realitas banal, ketika yang sebelumnya kasar dan berdebu menjadi agak bersahabat; ketika deret pabrik berhadapan dengan lahan kosong kumuh tempat truk-truk lintas pulau parkir; ketika jalan-jalan aspal hampir sama tingginya dengan kali lebar berair hitam yang tak pernah mengalir; ketika partikel debu lebih tebal dari partikel oksigen; dan ketika ia yang menjadi bagian Jakarta, bagian Batavia yang pertama kali dihidupkan oleh pemerintah kolonial, tampak jauh, asing, dan terasa seperti bagian lain dunia.

Realitas banal adalah tentang menyiapkan diri agar tidak terlalu peduli dengan kebiadaban kota.

No comments:

Post a Comment