Tentang

Tuesday, September 29, 2015

Tips Membaca Saat SeHAMA




Pada 31 Juli hingga 18 Agustus 2015 lalu, saya berkesempatan mengikuti suatu helatan keren bernama SeHAMA (Sekolah HAM untuk Mahasiswa) VII yang diadakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – tampaknya saya telah beberapa kali pula menyebut tentang SeHAMA di tulisan-tulisan sebelumnya. 

Saat menyiapkan barang-barang yang akan saya bawa ke SeHAMA (peserta SeHAMA tinggal bersama di wisma selama kurang lebih tiga minggu penyelenggaraan SeHAMA itu), karena saya kerap menghabiskan waktu dengan membaca buku, maka tentu saya menyiapkan beberapa buku untuk saya bawa. Saya membayangkan, buku-buku itu nantinya akan saya baca saat malam setelah agenda harian selesai. Waktu itu saya juga berencana untuk menulis tentang materi kelas dan kehidupan harian saat SeHAMA setiap harinya. Rencana ini hanya sukses dijalankan dua tiga hari saja, itu pun di hari-hari awal SeHAMA. Di hari-hari sisanya, rencana ini terus-menerus tak terkejar karena beberapa alasan. Alasan yang sama juga menyebabkan buku-buku yang saya bawa tetap tertinggal di dalam tas, tak kunjung saya baca.

Friday, September 25, 2015

Filsafat Kol Goreng


Seberapa sering anda makan pecel lele atau pecel ayam kaki lima dengan kol goreng? Saya sering sekali.

Sore tadi selepas kelas Sosiologi Hukum, saat sedang nikmat-nikmatnya memamah nasi lele bakar dengan atribut kol goreng, saya terlonjak karena merasa telah berhasil membuat suatu tesis yang tampaknya cukup revolusioner dan mencengangkan. Ternyata, jejak-jejak pemikiran posmo dapat ditemukan bukan di gedung-gedung berarsitektur aneh yang patah-patah dan bengkok-bengkok (yang sering disebut seni-zaman-baru itu), bukan pula di Galaksi Simulacra, buku kumpulan esai Jean Baudrillard yang, Masya Allah, membaca esai pertamanya saja sudah bikin jalinan neuron saya retak-retak. Manusia nusantara menemukan realitas posmo di atas meja makan; dalam konteks saya, realitas posmo itu adalah kol goreng. Bahkan, kalau kol goreng bisa berpikir dan membaca buku, saya lumayan yakin bahwa ia akan kuliah filsafat dan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Derridean. Sebelum sidang pembaca meninggalkan tulisan ini, saya mau tekankan satu hal: tenang saja, saya bukan Foucault, bukan pula Lyotard, diameter sumsum otak saya yang minimalis juga termehek-mehek membaca teori mereka. Tulisan ini tidak sulit.

Derrida adalah salah satu pemikir penting posmo yang terkenal dengan metode dekonstruksinya. Apa itu dekonstruksi? Akhyar Yusuf Lubis menyebut dalam Postmodernisme: Teori dan Metode, bahwa “dekonstruksi adalah strategi yang digunakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar di mana pemikiran kita ditegakkan”. Dijelaskan pula bahwa dekonstruksi “menggunakan hermeneutika kecurigaan, dengan mencurigai klaim-klaim kebenaran yang dikemukakan ilmuwan yang ditemukan dalam teks”. Anda paham? Saya pun tak terlalu paham.

Tapi ringkasnya kalau saya coba jelaskan dekonstruksi ini menurut versi saya (yang mungkin sekali kurang tepat), dapatlah saya bilang bahwa dekontstruksi adalah metode untuk menggoyang dan mempertanyakan kembali esensi dan muatan teks yang dianggap sudah-benar-dari-sananya. Kalau mengutip Peter Barry, dekonstruksi adalah “membaca teks dengan melawan teks itu sendiri”. Teks ini juga tidak terbatas pada teks dalam bentuk tertulis yang selama ini kita kenal. Apapun adalah teks apabila dapat dilakukan upaya pemaknaan terhadap hal tersebut. Bangunan teorinya cukup begini saja untuk menerangkan analisis tak penting saya.

Thursday, September 17, 2015

Menjadi Feminis Menurut Saya


Kurang lebih satu dua tahun belakangan, saya seringkali melihat diri saya sebagai seorang feminis laki-laki karbitan yang bahkan belum membaca The Second Sex-nya Simone de Beauvoir atau Feminist Thought-nya Rosemarie Tong. Sejujurnya saya selalu was-was dan tak berani untuk menyebut diri saya seorang feminis, karena belum tentu kualitas diri saya memenuhi syarat-syarat untuk-menjadi-seorang-feminis seperti yang dibikin saklek oleh beberapa orang (seakan-akan feminisme adalah paham yang eksklusif). Definisi feminis (kalau memang ia butuh definisi) yang saya pahami tak sulit dan rumit: adalah orang yang mendukung perjuangan kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki. 

Feminisme, sebagai salah satu bentuk teori kritis, mengandung dimensi praksis. Maksudnya, feminisme akan mati dan tak ada gunanya kalau hanya hidup di teks-teks ilmu pengetahuan yang tak diterapkan. Feminisme mengandung dimensi perlawanan yang terang; ia anti penindasan dan dominasi patriarki. Untuk melahirkan sosietas dengan relasi gender yang adil dan setara, feminisme adalah kancah untuk bergerak; ia tak ingin dirinya hanya jadi deretan narasi yang melulu berisikan air mata, keringat, ludah, dan darah perempuan. Lebih dari itu, feminisme ingin agar air mata, keringat, ludah, dan darah perempuan itu tak tumpah sia-sia. Ia ingin tumpahan itu tak lagi ada dan semua manusia dapat hidup bersama dengan harmonis dan setara.

Tuesday, September 8, 2015

Sebelum Menjadi Pembela Rakyat Kesiangan



Judul Buku                  : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis                        : Paulo Freire
Penerbit                      : LP3ES
Jumlah Halaman         : 221 halaman
            
Pendidikan Kaum Tertindas (PTK) adalah buku kecil yang tidak mudah ditamatkan. Saya butuh kurang lebih dua minggu untuk betul-betul menyelesaikan dan mencoba memahami pemikiran-pemikiran Paulo Freire dalam buku ini. Meskipun begitu, membaca PTK adalah pengalaman yang menyenangkan dan sangat membuka pikiran.

PTK terdiri dari empat bab yang membahas beberapa ide pokok, yaitu: pembenaran bagi pembebasan kaum tertindas; model pendidikan “gaya bank”; serta prinsip dialogika dan antidialogika. Dalam PTK, selain menggunakan perspektif pertentangan kelas Marx, Freire banyak mendasarkan analisisnya pada filsafat manusia, sehingga pendekatan yang ia pakai sangat humanis. Dalam membahas pembebasan kaum tertindas misalnya. Freire berkali-kali menyatakan bahwa pembebasan hanya dapat dilakukan oleh kaum tertindas, bukan oleh kaum penindas. Pembebasan yang diupayakan oleh kaum tertindas harus dengan maksud untuk menegakkan nilai kemanusiaan; pembebasan ini dilakukan tidak hanya terhadap kaum tertindas, namun juga terhadap kaum penindas. Dalam sudut pandang ini, Freire hendak menyatakan bahwa pembebasan kaum tertindas tidak ditujukan untuk menghancurkan dan kemudian menggantikan posisi kaum penindas. Apabila hal ini terjadi, pembebasan tersebut lahir dari motif eksistensial yang salah, karena pembebasan demikian hanya akan melahirkan kaum penindas baru.