Pulang
Jumat dini hari lalu, saya baru sampai di rumah setelah perjalanan delapan hari menyusuri kota-kota di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa bersama empat orang teman. Kami memulai perjalanan dari Cirebon hingga Surabaya. Pada awalnya, ada rencana untuk mengakhiri perjalanan di Banyuwangi, titik paling timur Pantura. Namun, karena kombinasi dari tipisnya kapital, terbatasnya waktu dan urgennya keperluan mengisi IRS, kami memutuskan untuk tidak melaksanakan ide ini. Jadilah kami memilih Surabaya sebagai perhentian terakhir, yang kami rasa cukup mudah mengakses moda transportasi untuk kembali ke Jakarta di kota itu. Total ada sembilan kota yang sempat kami singgahi, yaitu Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Tuban, Gresik dan Surabaya. Tulisan ini tak saya maksudkan sebagai narasi detail mengenai perjalanan saya, hal yang demikian mungkin akan saya lakukan kemudian hari. Juga, tulisan ini bukanlah catatan kolektif yang merangkum cerita dari pandangan-pandangan kami berlima sebagai pelaku perjalanan.Tulisan ini saya buat setidak-tidaknya untuk keperluan personal saya sendiri; upaya untuk mengekalkan kesan, rasa dan pandangan terhadap tiap-tiap kota yang saya singgahi. Oleh karena sifatnya yang begitu personal, tulisan ini mungkin saja dirasa tak penting oleh pembaca. Tak apa, saya hanya sedang belajar berjalan sedikit jauh dari rumah, dan inilah pertanggungjawaban saya.
Sebermula
Keinginan mengadakan perjalanan kali ini bukan hanya didasarkan atas keinginan berlibur saja; untuk saya pribadi, alasannya jauh lebih penting dari itu. Selama kurang lebih lima bulan sejak pertengahan tahun 2014, saya didera rutinitas dan kehidupan harian yang terus-menerus hadir tak habis-habis. Tahun 2014 bagi saya adalah tahun yang begitu intens, ada banyak momen penting/tidak penting, baik/buruk, mujur/sial, serta terang/gelap yang saya alami. Lebih dari itu, kehidupan sehari-hari saya adalah ruwet dan profannya kota Depok/Jakarta/Tangerang Selatan. Karena saya kost di Depok, tentu saya harus buang jauh-jauh harapan untuk dapat menikmati kota yang tenang dan ramah tiap kali saya lewat di ruas jalan Margonda yang, Demi Tuhan, menyebalkan setengah mati. Di luar lingkaran jumud rutinitas Kampus-UI-Depok, saya sadari bahwa realitas yang saya hidupi adalah realitas kota besar. Sebuah realitas di mana manusia-manusia yang ada di dalamnya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti cepatnya kehidupan metropolitan berputar; kita adalah makhluk eksistensialis setengah-setengah yang tak kuasa melawan perputaran arus kejadian. Saya adalah bagian dari manusia-manusia tersebut. Pula realitas metropolitan yang kita hidupi adalah realitas yang hanya mengenal satu sistem bahasa, yaitu bahasa kapital. Cara kita berbahagia tak lebih dari akal-akalan komodifikasi belaka. Identitas dan eksistensi kita hanya dapat diukur dari kurva perputaran modal dan seberapa tinggi kita bisa menanjaki kelas sosial. Kehidupan metropolitan yang saya hidupi adalah kehidupan yang dibangun di atas realitas yang berlapis-lapis. Padat, silau, sebuah pameran visual yang penuh namun tak ada memiliki kedalaman nilai. Tentu kehidupan yang demikian adalah kehidupan yang perlu dicarikan jalur kabur.