Tentang

Sunday, August 18, 2019

Soal Intelektualitas dan Integritas: Suatu Perjumpaan



Hari Minggu (11 Agustus 2019)  lalu, selepas acara kurban di masjid komplek, saya berpapasan dengan pasangan suami-istri Pak Ansyahrul dan Bu Sri di depan rumah. Saya menyalami mereka dan mengenalkan diri. Pak Ansyahrul ingat ia pernah menerima buku saya, dan ia katakan bahwa ia sudah baca buku itu, serta setuju bahwa “penafsiran itu penting bagi hakim”. Pada percakapan itu, saya menyebut tentang dua buku tulisan Pak Ansyahrul yang pernah saya baca, satu tentang sejarah peradilan di Jakarta, serta satu lagi tentang etik hakim dan pemuliaan peradilan. Ia belajar ilmu hukum di UI, angkatan 1964, dan penulisan skripsinya dibimbing guru besar kita yang tak tergantikan, Prof. Dr. Gouw Giok Siong. Waktu itu nama fakultasnya masih “Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasjarakatan (FHIPK)”.

Pak Ansyahrul adalah peletak dasar sistem pengawasan hakim di Mahkamah Agung. Ia adalah Kepala Badan Pengawasan MA yang pertama, dan terakhir bertugas sebagai Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia masuk dalam daftar “Hakim Pilihan” Majalah Tempo edisi 9 Agustus 2010. Ia dikenal sebagai hakim berintegritas yang hidupnya amat lurus. Hingga sekarang pun ia masih sering mengisi pelatihan-pelatihan tentang etik hakim.

Buku-buku tulisan Pak Ansyahrul menarik bagi saya, karena ia menaruh minat serius pada kajian sejarah hukum. Saya ingat, ia mengutip beberapa Indonesianis jagoan dalam tulisannya, semisal Daniel Lev dan Denys Lombard. Dari informasi yang ia sampaikan, saya baru tahu bahwa Indonesia pernah menggunakan sistem peradilan juri pada saat pendudukan Raffles, dan bagaimana kenyataan tersebut, bertungkus-lumus dengan segala bentuk adopsi/transplantasi hukum lain yang pernah kita terapkan di sini, membuat Indonesia menjadi “negara dengan sistem hukum paling rumit di dunia” (kalimat ini ia kutip dari Lev). Dengan uraian pendek ini saja, dapat tergambar bahwa Pak Ansyahrul adalah yuris yang melek kajian ilmu sosial serta fasih berbicara sejarah. Mungkin ini ada hubungannya dengan latar belakangnya sebagai alumni FHIPK, yang menurut Satjipto Rahardjo, pada masa itu dianggap banyak kalangan sebagai “manusje van alles”, manusia yang bisa/menguasai segala-galanya.

Dalam perbincangan itu, Pak Ansyahrul menanyakan kepada saya, apakah saya sudah baca “Korupsi” tulisan B. Herry Priyono? “Sudah mulai baca, Pak,” saya bilang. Ia mengulas singkat buku itu dan bercerita bagaimana pada zaman antik, cakupan makna istilah “korupsi” lebih luas daripada yang kita pahami saat ini, dan korupsi di masa itu dipandang sebagai perbuatan pengkhianatan kepada publik. Ia sebutkan pula bahwa di Indonesia, “korupsi sudah setua republik”.

Berhubungan dengan topik-topik bahasan ini, saya menanyakan pada Pak Ansyahrul tentang dua buku yang agaknya masuk dalam minat studinya: “Melawan Korupsi” tulisan Vishnu Juwono (sejarah politik pemberantasan korupsi di Indonesia) dan “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional” tulisan Soetandyo Wignjosoebroto (sejarah pembentukan hukum di Indonesia dari zaman kolonial hingga zaman pasca kemerdekaan). Pak Ansyahrul tampaknya belum membaca dua buku tersebut, sehingga saya janjikan dua buku itu kepadanya.

---
Hari ini (18 Agustus 2019), saya bertamu ke rumah Pak Ansyahrul untuk memberikan dua buku yang sebelumnya saya janjikan tersebut. Waktu masuk ke dalam rumahnya, saya langsung mengenali buku di atas meja kerja Pak Ansyahrul yang terbuka halamannya: “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung” tulisan Sebastiaan Pompe. Ternyata ia sedang menyiapkan materi untuk tiga kegiatan pelatihan yang akan ia narasumberi pekan ini.

Dalam perjumpaan kedua ini, percakapan lebih banyak diisi dengan soal-soal pribadi dan keseharian: “Bagaimana pekerjaan di kantor?” “Baik-baik saja, Pak, Bu,”; “Bagaimana, sudah punya calon?” “Alhamdulillah sudah, Pak, Bu,”; “Kapan rencananya?” “… (di sini saya hanya sanggup cengar-cengir saja)”.

Selain itu, Pak Ansyahrul menyampaikan bahwa masalah-masalah yang sekarang kita hadapi di lembaga pemasyarakatan sebenarnya bisa diatasi jika sistem hakim wasmat (pengawasan dan pengamatan) diterapkan dengan serius. Ia mengutip sistem Perancis yang hakim-hakimnya memiliki otoritas kuat hingga tahap pengawasan dan pembinaan pemasyarakatan.

Mengenai integritas penegak hukum, saya menafsirkan dari ucapan-ucapan Pak Ansyahrul bahwa hakim/penegak hukum penting untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas, sehingga konflik kepentingan tersebut bisa dihindari pada kesempatan pertama. 

Satu hal lagi, dan ini mungkin yang paling penting, saat berbicara tentang prinsip seorang penegak hukum untuk “tidak bisa dibeli”, ia nyatakan secara serius bahwa “bagi penegak hukum, itu (tidak bisa dibeli) adalah aturan Pasal 1-nya”.

Saya belajar banyak hal dari dua perjumpaan dengan Pak Ansyahrul ini. Pertama, bahwa penting bagi yuris-penegak hukum untuk terus menjaga laku hidup intelektual dalam keseharian; banyak membaca, belajar, dan menulis, tidak hanya pada disiplin ilmu hukum melainkan juga disiplin ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain. Kedua, bahwa nyawa (atau “api yang membuat terus menyala”) suatu profesi adalah integritas, dan reputasi yang baik hanya dapat lahir dari integritas yang dijaga secara kukuh seumur hidup.

Semoga Pak Ansyahrul sekeluarga sehat selalu.