Tentang

Monday, October 31, 2016

Kehidupan Menurut Manusia Kota dan Manusia Dataran Tortilla


Kehidupan harian di kota (besar) melahirkan pengeluh-pengeluh. Saya salah satunya. Mungkin anda juga berada dalam satu perahu yang sama dengan saya. 

Lagi pula, apa yang tersisa bagi manusia kota yang selalu dihajar rutinitas harian, selain kesempatan untuk mengucap keluhan-keluhan yang semakin hari, semakin bertambah variatif itu

Indikator keberhasilan yang dikenal oleh manusia kota adalah produktivitas. Manusia kota baru boleh disebut berhasil melalui hari, apabila tugas dan tenggat kerjanya di hari itu dapat ia penuhi seluruhnya. Dengan begitu, pergerakan manusia kota dipatok ke dalam agenda-agenda. Tak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia, tak boleh ada waktu luang yang tidak dicokoli agenda. Ketika selesai dari satu agenda, agenda lain telah siap membayang, minta diselesaikan. Pada posisi demikian, kehidupan kota dan agenda-agendanya dapat digambarkan sebagai jejeran sergapan-sergapan; manusia kota tidak pernah betul-betul lolos (dan lulus) dari sergapan demi sergapan tersebut.

Benny Hoed, seorang ahli semiotika, punya penjelasan berkenaan dengan kebiasaan mematok-matok waktu ke dalam agenda-agenda itu. Menurut Hoed, dengan mendasarkan uraiannya pada buku karangan Edward T. Hall, The Dance of Life (1983), kebudayaan yang terobsesi untuk mematok-matok waktu disebut kebudayaan monokronik. Kebudayaan monokronik memandang waktu sebagai benda yang dapat diatur dan diperjualbelikan. Pada masyarakat dengan kebudayaan ini, waktu harus dijadwalkan dengan jelas. Menurut Hoed, “… waktu menjadi material… dijadikan alat untuk memilah urusan mana yang penting dan mana yang tidak”. Akibatnya, “… waktu makin mengindividualkan manusia, mengendurkan ikatan antar-individu dalam masyarakat”. Uraian Hoed sesungguhnya menarik karena menunjukkan bahwa model penggunaan waktu menurut kebudayaan monokronik dapat membawa masyarakat kepada ujung yang ekstrem: keterasingan individu dari masyarakatnya. (Menurut saya, tesis ini tidaklah hiperbolis dan mendramatisasi. Jika mengingat kesendirian kita, para manusia kota, di tengah ramai, riuh, dan gemerlapnya kota, tesis Hoed malah makin mendekati kenyataan).

Wednesday, September 7, 2016

Tentang Penulisan Esai: Pelajaran dari Simulakra Sepakbola

Saya bukan orang yang menggilai sepakbola. Paling-paling, dulu saat masih SD, saya sempat tertarik dengan AC Milan. Penyebabnya remeh: Ibu membelikan saya selimut, handuk, dan jam dinding bergambar logo AC Milan. Begitu saja. Tak ada ikatan emosi yang luhur, semua hanya kebetulan. Selebihnya, saya ingat pernah beberapa kali main Winning Eleven dan Pro Evolution Soccer, serta ikut bertanding futsal saat SMP-SMA. Di luar itu, sepakbola dan saya tak pernah saling bertamu.

Beberapa waktu lalu, keadaan hubungan kami (sepakbola dan saya) yang dingin itu dihangatkan oleh buku kumpulan esai Zen Rachmat Sugito, Simulakra Sepakbola (Indie Book Corner, 2016). Zen adalah pendiri dan editor Pandit Football, situs penyedia artikel-artikel segar mengenai sepakbola, yang sayangnya tak terlalu saya mengerti (maklum, bekal epistemologis saya terkait wawasan persepakbolaan sangat lemah, kalau tidak bisa dikatakan kosong sama sekali). Zen adalah penulis esai yang handal; saya cukup rutin membaca esai-esainya sejak 2012. Saya lupa judul esai Zen yang pertama kali saya baca, namun, yang pasti, sejak pembacaan pertama itu saya jadi senang mengikuti publikasi esai-esai terbaru Zen. Sekarang, selain memublikasikan tulisannya di banyak media, baik cetak maupun daring, Zen aktif menulis di blog Kurang Piknik. Dulu, Zen pernah juga menulis di blog Pejalan Jauh yang tampaknya sudah tidak ia perbarui lagi.
 
Simulakra Sepakbola sendiri berisi 25 esai, yang jika ditarik benang merahnya, berkisar di antara dua tema: pertama, cerita-cerita tentang persentuhan Zen dengan sepakbola; serta kedua, analisis mengenai hal-hal seputar sepakbola dengan menggunakan banyak perspektif/teori yang tidak pernah dipakai oleh komentator pertandingan sepakbola di televisi manapun. 

Sejujurnya, saya lebih suka membaca esai-esai Zen tentang sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik, daripada esai-esainya tentang sepakbola (belakangan, seusai menamatkan Simulakra Sepakbola, saya baru mengetahui bahwa justru esai-esai sepakbola Zen selalu berkaitan dengan perspektif sejarah, sastra, filsafat, dan sosial-politik). Mungkin itu yang membuat saya tak banyak membaca esai-esai Zen di Pandit Football. Tadinya, saya berasumsi bahwa esai-esai Zen yang bukan-tentang-sepakbola lebih dapat saya akses dan pahami, sebab konteks narasinya lebih terbuka dan mondial; tidak seperti esai-esai tentang-sepakbola, suatu tema spesifik yang tak saya kuasai. Tentang sepakbola itu, saya sadar bahwa saya tidak paham konteks; tak tahu-menahu tentang pemain A, klub C, taktik permainan H, atau sejarah pertandingan K. Prasangka-prasangka tersebut tetap menggelantungi saya saat hendak membeli Simulakra Sepakbola. Tetapi, saya pikir, meskipun temanya tentang sepakbola, penulisnya adalah Zen RS! Karena itu, walau ada kemungkinan saya tak mampu menikmati Simulakra Sepakbola secara keseluruhan, buku ini tetap haram dilewatkan. Setelah membaca tiga-empat esai dalam Simulakra Sepakbola, saya tahu bahwa prasangka-prasangka itu keliru. 

Simulakra Sepakbola adalah buku kumpulan esai yang sukses; ia dapat mengambil hati segala jenis pembaca. Esai-esai di dalam Simulakra Sepakbola unggul secara teknik penulisan. Menurut saya, Simulakra Sepakbola, secara halus dan tak langsung, memaparkan banyak pelajaran tentang menulis esai dengan baik. Saya akan coba menguraikan beberapa pelajaran mengenai penulisan esai yang saya dapat dari Simulakra Sepakbola.

Wednesday, August 24, 2016

Setelah Yogyakarta, Hari-Hari Akan Datang


Minggu sore tanggal 21 Agustus 2016. KA Bogowonto yang mengangkut kami -Tyo, Cassandra, Kezia, Digda, dan saya- berhenti di Stasiun Senen. Kami kembali ke Jakarta setelah lima hari empat malam berlibur ke Yogyakarta. Saat saya sampai di rumah, yang tersisa dari perjalanan itu adalah rasa lelah, kantuk, serta melankoli yang sukar ditepis. Perjalanan kali ini meninggalkan beban yang terasa asing, sementara perjalanan-perjalanan lain lazimnya diakhiri dengan hati ringan. Waktu itu, saya ingat, saya pulang dengan tidak bersemangat. 

Saya lumayan yakin sumber beban itu tidak terletak dalam substansi perjalanannya. Bukan, ini bukan masalah kekesalan tak terucapkan terhadap nama-nama yang saya sebut di atas, atau ketidakpuasan terhadap tempat-tempat yang kami sambangi. Beban ini bersifat eksternal-perjalanan. Setelah memilah-milah jalinan benang yang kusut di hati dan kepala, hasil tebakan terbaik saya menunjukkan bahwa beban itu paling mungkin lahir dari keengganan menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang ditaburkan nasib seusai perjalanan ke Yogyakarta tamat. (Perlu dijelaskan, kami berlima menyelesaikan studi dan lulus tahun ini. Ini berarti perjalanan jauh terakhir kami secara bersama-sama, sebagai mahasiswa.)

Saat berputar-putar di sekujur Yogyakarta, kami berbicara dan bercanda tentang apa saja. Mulai dari hal penting hingga printilan yang tak ada signifikansi sama sekali. Dari daftar topik-topik obrolan itu, ada satu hal yang tidak (mau) kami bicarakan: tentang hal-hal mengenai dan sekitar "Mau apa kau setelah lulus?". Ini topik mengerikan yang berpotensi menimbulkan kegundahan hati setelah mempercakapkannya. Juga telah kami sepakati, saat KA Gajahwong menggendong kami ke Yogyakarta pada 17 Agustus 2016, bahwa topik ini “jangan sampai dibahas” karena “akan membikin depresi”. Bisa jadi, perjalanan kami terasa menyenangkan hanya karena topik tersebut tidak pernah kami bahas. Kami pikir, waktu selama di Yogyakarta selayaknya dihabiskan murni untuk mencari bahagia dan melepas lelah saja, sedang urusan hidup pasca kuliah bisa dipikir-pikir di lain hari.

Saturday, August 13, 2016

Cerita untuk Y & L

Cerita untuk Y & L, cerita oleh Seno Gumira Ajidarma, gambar oleh Asnar Zacky. Dipindai dari Seno Gumira Ajidarma, Kematian Donny Osmond, (Gramedia: Jakarta, 2001), hlm. 28-32. 

Menurut saya, kisah ini menjadi relevan ketika wacana full day school dimunculkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jiwa anak-anak perlu dirawat dengan kesenangan bermain. Mereka dapat memancing bintang, mencomot rembulan, atau menangkap Pokemon.

Semoga kisah ini juga menyenangkan bagi anak kecil dalam masing-masing diri kita.

Wednesday, August 10, 2016

Toko-Toko Buku Bekas di Tangerang Selatan yang Perlu Kamu Datangi

Mengubek-ubek toko buku bekas itu asyik, sebab kita tidak pernah tahu buku apa yang akan kita temukan. Pengalaman blusukan di toko fisik berbeda dengan pengalaman mencari buku di toko daring. Di toko fisik, ada ritual yang kita nikmati: penyibakan deret demi deret atau tumpuk demi tumpuk buku, untuk menemukan buku yang kira-kira sesuai dengan selera kita. Di toko daring, kita mencari suatu buku yang spesifik; artinya, judul buku itu sudah tertentukan sebelumnya. Memang, karakteristik ritual di toko fisik itu bisa saja kita cangkokkan ke ritual di toko daring. Kita tetap bisa merasakan nuansa penyibakan dengan menelusuri satu demi satu koleksi buku di suatu toko daring, kalau mampu bahkan hingga sampai halaman terakhirnya. 

Meski demikian, pengalaman dan kenyataan yang mengemuka dalam proses pencarian buku di toko daring tidak akan lebih nyata daripada pencarian di toko yang betul-betul "nyata". Toko daring memudahkan kita dengan daftar judul buku dan nama pengarang yang sudah tersusun rapi, sementara di toko fisik kita jarang mendapatkan kemudahan itu. Di toko daring, kita tertolong dengan fitur "Pencarian Buku", tinggal masukkan nama pengarang atau judul buku, hasilnya langsung keluar. Tidak demikian dengan toko fisik. Banyak penjaga toko fisik yang tidak hapal buku-buku apa saja yang dijual di tokonya, sehingga ia tak dapat membantu untuk mencarikan buku dengan judul anu yang ditulis oleh pengarang anu. Ujung-ujungnya harus kita sendiri yang aktif mencari. 

Juga, koleksi buku di toko daring biasanya dipajang rapi dengan foto dan deskripsi ringkas, sedang koleksi buku di toko fisik seringkali disusun atau ditumpuk secara asal-asalan. Di beberapa toko fisik malah koleksinya sudah berdebu karena lama tak ada yang menyentuh. Kondisi-kondisi ini membuat pengalaman mencari buku di toko fisik jauh lebih seru daripada di toko daring. Selain hasil temuannya lebih tak terduga, pencarian buku di toko fisik lebih melibatkan gerak tubuh, berbeda dengan pencarian di toko daring yang hanya melibatkan jari dan mata. Bagi saya, pengalaman mengubek-ubek toko fisik terasa lebih utuh; ke-berada-an kita ikut melebur masuk ke dalam buku-buku yang kita sibak.

Sunday, July 31, 2016

Jakarta, Rembulan, dan Keterasingan (Esai oleh Seno Gumira Ajidarma)

Sejak tahun '60-an, Jakarta sudah menjadi kota yang mengasingkan manusia.

Sobron Aidit, suatu ketika di tahun 1954, menulis sajak. Saya kutipkan selengkapnya:
Bulan berlayar, hatiku hambar
Malam begini malam berbisa
Karena aku bukan di tempatnya
Dan dada rasa terbakar.

Bulan terang di Jakarta
Sedang hati jauh menyisih
Mencari ibu dan kekasih
Di pagi hijau terlontar menemu duka

Di sini beginilah aku
Tidak punya pangkalan
Buat menambat pilu.

Terdiam, berjalan, menghilang
Tanpa menemu hakekat
Sedang perhitungan sudah berbilang.
Sajak itu berjudul Malam Terang di Jakarta. Dari sebuah sajak, ternyata kita bisa menghayati jiwa sebuah kota, dan segera kita lihat bahwa Jakarta dalam pandangan aku-lirik memang terang. Namun dalam ke-terang-annya itu, kita baca baris-baris yang menunjukkan bahwa manusia dalam kota itu tidaklah seterang apa yang visual. Pada bait pertama terbaca baris: aku bukan di tempatnya; bait ke dua: hati jauh menyisih; bait ke tiga: tidak punya pangkalan; dan bait ke empat: tanpa menemu hakekat. Segalanya menjadi asing di Jakarta, manusia terasing di kotanya sendiri, meski di kota seperti Jakarta kalkulasi profesional berlangsung dengan cermat: sedang perhitungan sudah berbilang.

Tuesday, July 26, 2016

Tentang Kematian, Tobil, dan Kesimpulan

Saya sebenarnya cuma mau bicara tentang pengalaman saat membikin skripsi, namun, agar tulisan ini sedikit lebih berisi, saya perlu mengutip kisah singkat tentang Pak Sastro. Pak Sastro adalah tokoh utama dalam Kooong, novel karangan Iwan Simatupang. Ia adalah orang baik namun bernasib murung. Istrinya meninggal akibat diterjang banjir dari waduk desa yang jebol saat ia sedang menjemur padi. Pak Sastro tak ikut mati saat itu, sebab kebetulan ia sedang pergi ke luar kota. Amat, anak laki-laki Pak Sastro, memutuskan untuk pergi ke Ibukota bersama pemuda-pemuda desa yang berhasil selamat dari banjir. Satu kematian lewat, satu kematian datang merundung. Amat mati dilindas lokomotif langsir di dekat Stasiun Senen. Kata masinis kereta api - yang menggilas Amat - kepada Pak Sastro (diceritakan bahwa mereka memang betulan bertemu), 
"Semua orang melihat, si Amat itulah yang salah. Lokomotif lagi mendengus-dengus di hadapan hidungnya, tahu-tahu dia nyelonong menyeberang jalan. Ini bukan salah lagi namanya, tapi perbuatan nekad. Ya! Aku malah makin cenderung berpendapat, perbuatan si Amat itu perbuatan yang disengaja."
Si Amat mati bunuh diri, batin Pak Sastro. Ia berjalan terhuyung-huyung, hatinya remuk, pikirannya  sibuk,
"Hm! Jadi, si Amat nekad. Mengapa? Apa dia sudah tak ingat lagi pada ajaran-ajaran yang diperolehnya dari guru mengaji di desa dulu? Tidakkah dia tahu, Tuhan melarang perbuatan nekad? Putus asa? Bunuh diri?"
Terhadap kematian Amat dan persepsi Pak Sastro, ada pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilayangkan. Beberapa mungkin tidak terjawab dengan meyakinkan, salah satunya adalah: "Layakkah kita menilai manusia hanya dari cara ia mati?".

Tuesday, July 5, 2016

Tunggu punya tunggu

Lusa lebaran
Sidang skripsi minggu depan, kurang lebih
Pukul empat subuh ini sahur terakhir; kau jangan lupa bangun.

Monday, June 20, 2016

Belajar Cara Belajar dari Ahmad Wahib

Saya tak pernah punya jawaban yang pasti dan meyakinkan ketika dihadapkan pada pertanyaan "Mengapa dan untuk apa kamu belajar?". Catatan harian Ahmad Wahib ini, memberikan jawaban yang fasih nan terang terhadap pertanyaan itu:

Yang Penting Bagiku adalah Dialog

Aku adalah orang yang kurang banyak membaca, sehingga banyak sekali istilah-istilah ilmiah yang tak aku kuasai dalam mengungkapkan isi pikiran. Hal ini, untuk sebagian disebabkan karena pendidikan sekolah yang kutempuh selama ini berada di luar lingkaran ilmu pengetahuan sosial, selain sebagian juga disebabkan oleh penguasaan bahasa Inggeris - apalagi bahasa asing lainnya - yang sangat kurang. Literatur-literatur asing sedikit sekali yang bisa kubaca dan itulah sebagian sebabnya, metodologi keilmuan tidak saya kuasai dengan baik. Aku tidak memiliki modal ilmu. Yang kumiliki hanyalah nafsu atau emosi untuk berfikir terus mencari kebenaran dan berusaha terus menegakkan kejujuran dan kebaikan. Karena itulah pikiran-pikiran yang kukumpulkan dalam tulisan-tulisan lebih banyak sebagai suatu analisa ilmiah. Kebanyakan dari isi pikiranku adalah sekedar hasil dari renungan-renungan sewaktu makan, tiduran, naik sepeda, jalan kaki sepanjang jalan raya, nonton filem, naik spur dan lain-lain tanpa suatu basis ilmu yang memadai.

Janganlah anda tanya padaku bagaimana tentang isi sebuah buku yang baru selesai kubaca. Aku tidak pernah ingat dengan baik akan isinya dan aku memang tidak pernah berusaha mengingatnya, walaupun aku bukanlah orang yang merasa tidak beruntung mengingatnya. Syukurlah kalau kebetulan masih ada yang teringat dan tidak apalah bila telah melupakannya semua. Yang penting bagiku adalah dialog yang terjadi antara aku dan pengarangnya sewaktu tulisan itu kubaca. Aku buka pintu hati dan otakku selebar-lebarnya untuk memperoleh pengaruh dari pengarang itu di samping sekaligus aku berusaha menyaringnya dengan cermat. Aku ingin bahwa dialog dengan buku-buku itu tidak hanya menambah pengetahuanku tapi lebih-lebih lagi membantu dan mempengaruhi sikap hidupku. karena itu aku selalu berusaha mencerna, menyaring, mengkritik dan meresapinya agar dia berjabat tangan lebih erat dengan pikiran-pikiran dan kepribadian yang sudah ada dan menyempurnakannya. Akupun berusaha, terlebih-lebih lagi, membentuk dan mengolahnya agar yang sudah ada dan baru datang itu bersenyawa dan menyatu secara serasi dan menemukan suatu bentuk pengungkapan baru yang segar sesuai dengan penghayatan-penghayatan dalam diriku. Dan yang paling penting adalah usahaku bahwa dialog dengan pikiran-pikiran pengarang itu akan mengantarkan aku pada kebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi. Sikap-sikap seperti ini kulakukan pula bila aku mengikuti diskusi, mendengarkan ceramah, berdebat atau menghadiri seminar-seminar. Aku sangat bersedih hati bila setelah selesai diskusi, berdebat, ceramah atau seminar, aku tidak punya waktu untuk merenungi apa-apa yang baru lewat itu dengan baik dan leluasa. Sebab hanya dengan merenung dan merenung, apa yang aku lihat, dengar dan rasakan dalam peristiwa-peristiwa itu akan bisa menjelma secara serasi dalam diriku sebagai suatu kesatuan dan membantu mempermatang kepribadianku, dan menambah ilmuku bukan sebagai kumpulan potongan-potongan tapi sebagai suatu kebulatan sistem.

Aku berusaha mencerna, mencoba dan mengasah terus agar apa yang sudah ada itu makin lama makin padat dan bulat, agar tecapailah suatu gambaran diri yang konsisten.
8 Februari 1970