Tentang

Sunday, August 30, 2015

Keberanian yang Disisiri Sisir Tanah

Karena Sisir Tanah, sejauh hasil riset saya di internet, belum merilis satupun album, maka jelas bahwa tulisan ini tidak dibikin sebagai reviu rilisan musik. Saya mendengar Sisir Tanah murni dari laman Soundcloud mereka,[1] serta beberapa video di Youtube. Sisir Tanah pun belum saya ketahui lama, baru sejak satu minggu yang lalu. Kala itu, saya sedang iseng memilih-milih video di Youtube, kemudian menemukan Lagu Hidup, lagu Sisir Tanah pertama yang saya dengar. Musiknya minimalis. Namun, dari petikan gitar dan vokal Bagus Dwi Danto yang sabar seperti ayoman orang tua, serta liriknya yang kuat tetapi sederhana, saya langsung tergerak untuk mengulik lebih dalam dan mendengar lebih banyak lagu Sisir Tanah.

Ada kesan berbeda tapi menyenangkan ketika mendengar lagu-lagu Sisir Tanah; kesan itu seperti benih kecil yang jatuh di sudut hatimu, pelan-pelan ia tumbuh dan berdaun rimbun, menghasilkan udara segar untuk hatimu hirup. Sama seperti Dialog Dini Hari, Sisir Tanah menawarkan musik bagus yang dapat menjadi obat bagi pendengarnya. Lirik-liriknya manis namun membuat tegar. Sebab saya yakin Sisir Tanah tak ingin jadi guru yang menggurui dengan lagu-lagunya, maka cerita tentang lagu-lagu Sisir Tanah ini sepenuhnya berasal dari penalaran dan interpretasi saya sendiri. Meski terdapat perbedaan antara apa yang Sisir Tanah benar-benar maksud  dalam lagu-lagunya dengan apa yang saya interpretasikan,  hal demikian taklah menjadi masalah. Saya memilih untuk membiarkan makna berkembang biak, agar menjadi makna yang disesuaikan dengan cara pikir dan alas kaki pencari maknanya. Meminjam sepotong larik dari Lagu Cinta, harum cinta pasti menyebar, maka seperti cinta, harum makna juga selayaknya menyebar.

Awalnya saya agak kebingungan menentukan fokus tulisan ini. Anang Zakaria pernah meliput untuk Tempo tentang panggung Sisir Tanah di Yogyakarta dan menjadikan lagu Konservasi Konflik sebagai fokus.[2] Di Jakartabeat, Aris Setyawan juga telah menulis tentang Sisir Tanah dan absurditas.[3] Dari laman Soundcloudnya, setidaknya Sisir Hujan memiliki 12 lagu, tidak termasuk lagu-lagu yang belum direkam dan diunggah. Dari lagu-lagu tersebut, saya berkeinginan untuk tidak banyak membahas absurditas (seperti dalam Konservasi Konflik), kritik terhadap pidato presiden yang semu (seperti dalam Pidato Retak), atau kritik terhadap dominasi paradigma antroposentris yang dipakai manusia dalam melihat alam (seperti dalam lagu Bebal). Saya ingin bicara yang kecil-kecil saja. Lirik-lirik Sisir Tanah kaya akan muatan tentang cinta. Cinta adalah absurditas, memang, tapi karena cinta adalah laku absurd yang kita alami setiap hari, maka mungkin ia terasa tidak terlalu absurd lagi. Cinta dalam  lagu-lagu Sisir Tanah adalah jenis yang spesifik; ia adalah cinta yang lekat dengan keberanian. Keberanian untuk menjadi berani dan keberanian untuk berkorban.

Di Lagu Hidup, Sisir Tanah bercerita tentang manusia, yang hidupnya ditopang oleh unsur-unsur alam, oleh tanah, air, dan udara. Tak hanya itu, tata sosial dan identitas suatu masyarakat justru didefinisikan dari hubungan antara manusia dengan alamnya; alam sebagai ibu dan manusia sebagai bayi yang menyusu padanya. Simaklah ini:

Kita akan selalu butuh tanah//kita akan selalu butuh air//kita akan selalu butuh udara//jadi teruslah merawat//Jika kau masih cinta kawan dan saudara//jika kau masih cinta kampung halamanmu//jika kau cinta jiwa raga yang merdeka//tetap saling melindungi//

Namun begitu, Lagu Hidup tidak hanya mengutarakan romantisme hubungan manusia dan alam yang saling mencintai; ia menggumamkan pula tentang keberanian dan perlawanan yang diperlukan untuk menjaga romantisme itu. Bagaimana jika korporasi rakus datang mematoki tanah ulayat rakyat? Bagaimana jika negara dengan aparat loreng hijau dan cokelatnya datang membantu korporasi mengusir rakyat dari tanahnya? Sisir Tanah menyemangati:

Dan harus berani//harus berani//jika orang-orang serakah datang//harus dihadang//harus berani//harus berani//jika orang-orang itu menyakiti//terus bersatu menghadapi//

Mencabut manusia dari tanahnya sama dengan menghilangkan kediriannya sebagai manusia. Seperti petani yang turun temurun memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai petani, ia akan mati jika sawahnya digusur. Yang ia tahu hanya bertani, meskipun ia dipindahkan dan diberikan pekerjaan di kota, ia sudah kehilangan kediriannya, karena ia tak lagi dapat menemukan sawah tempat ia selama ini mengidentifikasikan hidup dan kehidupannya. Juga seperti perkampungan nelayan yang digusur pemerintah kota. Meski para nelayan diberikan rumah tinggal di daratan, hal itu tetap tak menyelesaikan masalah. Kehidupan nelayan adalah kehidupan di pesisir, yang dekat dengan perahu, air, dan bau amis laut. Mencabut manusia dari tanah bukan hanya bermakna mencabut manusia dari haknya, namun juga mengusir masyarakat dari identitas yang selama ini melekat di keningnya. Karena itu, di akhir lagu Sisir Tanah menjelaskan bahwa perlawanan terhadap orang-orang yang “serakah” dan doyan “menyakiti” itu adalah ikhtiar seluruh manusia:

Sedihmu adalah sedihku juga//sakitmu sakitku, sakit kita manusia//bahagiaku tak kan lengkap tanpa bahagiamu//bahagiakanlah kehidupan//

Di kesempatan lain, Sisir Tanah bercerita tentang keberanian menjelmakan mimpi jadi kenyataan dalam Lagu Baik. Bagi Sisir Tanah, hidup adalah keadaan terberi yang mau tak mau harus dijalani (semoga saya tidak terdengar fatalis ketika menulis ini). Seumpama sedih, katanya, hidup memang tugas manusia. Kelelahan akan datang sesekali, namun jika kamu lelah, janganlah terlalu putus asa karena setidaknya kamu masih punya banyak waktu, untuk:

Menjelmakan mimpi//menggerakkan kawan//hadirkan perubahan//menjelmakan mimpi, menggerakkan kawan//mendatangkan damai//

Esensi keberadaan manusia adalah perjalanan terus menerus untuk menjajaki setiap pintu yang terbuka dan tertutup. Hidup menjadi punya nilai dan arti ketika ia disusun oleh ketidaktahuan serta keingintahuan. Untuk hidup yang baik dan bersemangat itu, Sisir Tanah memberikan pesan agar kita membakar peta hidup yang sudah dan terus kita buat. Dan untuk membakar peta(-peta) itu, kita butuh keberanian:

Bakar petamu, jejak baru//bakar petamu, jejak baru//bakar petamu, jejak baru//panjang umur keberanian// mati kau kecemasan dan ketakutan//panjang umur keberanian//mati kau kebenaran yang dipaksakan//

Di Lagu Cinta, Sisir Tanah menjelaskan tentang kriteria-kriteria yang harus terpenuhi untuk menyebut suatu cinta sebagai cinta yang baik. Menurut Sisir Tanah:

Cinta yang baik//menghadapi kemenangan dan kekalahan sekokoh batu//meredam musim, melampaui batas ruang, batas waktu//
Cinta yang baik//mampu bertahan dalam kehilangan dan perubahan//memahami dan menghormati perbedaan-perbedaan//
Cinta yang baik//menjadi orang baik//dalam segala suka duka//merengkuh beragam perasaan yang berada di luar cinta//
Cinta yang baik//bergelimang rasa syukur, sederhana, dan sabar//meraih dukungan banyak pihak//karena harum cinta itu menyebar//harum cinta pasti menyebar//

Saya mendengarkan Sisir Tanah seperti berbicara dengan sahabat yang telah lama tak bertemu. pembicaraan mesra yang penuh dengan candaan, namun juga hangat dan memberikan harapan. Lagu-lagu Sisir Tanah adalah obrolan dari hati ke hati, ia jujur dan tak punya pretensi untuk menjatuhkan teman bicaranya. Sisir Tanah seumpama bibir yang tersenyum saat teman baik pergi meninggalkanmu, senyuman yang semata-mata muncul karena keyakinan bahwa ia akan kembali lagi. Mendengarkan Sisir Tanah adalah tentang menyisiri rambut-rambut kebahagiaan dan ketulusan jiwa; mendengarkan Sisir Tanah sungguh membuat saya banyak bersyukur.


*gambar diambil dari laman Soundcloud Sisir Tanah

(dimuat di Sorge Magazine) 

[1]_Dengarkan Sisir Tanah di https://soundcloud.com/sisirtanah.

No comments:

Post a Comment