Tentang

Tuesday, December 22, 2015

Timbang-timbangan jadi Hakim (juga Tentang Yang Mulia yang Tak Bersemangat)

Saya baru setengah jam sampai di kosan, selepas seharian mengurusi satu perkara dampingan kami di klinik hukum kampus. Siang tadi, kira-kira dari pukul 12.00 hingga pukul 15.00, kami menghabiskan waktu dengan menunggu dan menyimak sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dari tempat itulah ide awal catatan kecil ini lahir.

Tiap datang ke pengadilan, melihat para terdakwa datang dengan baju koko dan berpeci atau berkerudung sudah jadi pemandangan menarik yang khas (saya tidak hendak jadi tukang vonis akhlak orang di sini). Selain itu, ada juga sketsa khusus lain: lancarkan perhatianmu kepada paras dan raut Yang Mulia Majelis Hakim, dan tampaknya kau segera akan menangkap kesan yang sama seperti yang saya tangkap. Bapak dan ibu hakim yang rata-rata sudah berumur ini tampak mengantuk, tak bersemangat, dan ingin cepat-cepat selesai sidang.

Pada sidang siang ini (yang tak ada bedanya dengan dua atau tiga sidang yang sebelumnya saya hadiri), misalnya. Satu hakim menguap terus; yang satu lagi sempat tertidur bahkan; hakim ketua pandangannya terlihat tidak fokus dan kurang memerhatikan saat pemeriksaan saksi dilakukan. Yang paling membikin saya berpikir hingga sekarang adalah air muka mereka yang, bagi saya, menunjukkan ketiadaan antusiasme seakan mengharapkan sidang cepat ditutup dan antrean terdakwa habis disidangkan seluruhnya.

Entah mengapa, proses mengadili dalam sketsa sidang siang tadi tampak begitu mekanis buat saya. 

Saya selalu menimbang-nimbang cita-cita untuk menjadi seorang hakim. Entah hakim karier atau non-karier, entah hakim di lingkungan Mahkamah Agung atau Hakim Konstitusi sekalian (amin). Bagi seorang mahasiswa hukum macam saya, yang terlalu terobsesi dengan nilai keadilan dan bagaimana cara mewujudkan keadilan itu, pilihan menjadi hakim bukanlah pilihan yang jauh dan di-luar-dunia

Dari titik itu, pikiran dangkal saya menyebutkan satu tesis bahwa tentu setiap orang yang mendaftarkan dirinya menjadi calon hakim adalah orang-orang yang gandrung keadilan dan ingin menegakkan hukum yang berkeadilan pula. Berangkat dari patok itu pula, saya jadi menebak-nebak bahwa tentu para penggandrung keadilan ini ketika telah menjadi hakim, akan menjadikan persidangan dan ruang sidang sebagai tempat memutar, menantang, dan mengurai olah pikir otak dan nuraninya secara maksimal-mentok. Mau tak mau, karena pada setiap sidang yang dipertaruhkan adalah nasib dan masa depan seseorang (baik itu terdakwa atau korban/keluarga korban), maka seorang hakim harus menjadi subjek yang siaga, dengan "siaga" dimaksudkan bahwa daya nalar dan empatinya tak boleh luntur sama sekali. Karena, selain integritas, untuk menjadi hakim yang baik, seorang hakim hanya butuh otak dan nurani yang layak.

Tapi semua tesis yang saya ceritakan di atas itu jadi sedikit berantakan ketika dihadapkan pada realitas persidangan yang menampilkan hakim-hakim berwajah tak antusias dengan semangat yang sama kecilnya dengan semangat kuliah mahasiswa semester delapan ituPersidangan demikian jadi berjalan-asal-berjalan saja, berputar seperti mesin; ia defisit intervensi manusia serta perasaan kemanusiaan. 

Tentu saya tak mengetahui apakah selama sekian puluh tahun membangun karier sebagai hakim, seseorang bisa kehilangan kengototan mereka terhadap nilai-nilai keadilan, yang pernah benar-benar menyetir arah hidupnya, secara sedikit demi sedikit dan mengendorkan kualitas persidangan menjadi tidak seketat standar-standar masa mudanya? Apakah kelelahan dan tumpukan perkara membuat seorang hakim mengabaikan utopia keadilan yang mendorongnya mendaftar jadi calon hakim?  

Semoga soal mengerikan yang saya sebut ini tidak benar; kalau ia benar, tentu kaupun akan kepayahan membayangkan deretan hakim senior yang kuota rasa keadilannya sudah tiris tinggal ampas.

Jadi, di tengah kebelumpastian dunia pasca-kuliah, entah saya betulan jadi hakim atau tidak, hanya satu harap saya: saya tak mau tiris pelan-pelan dan jadi garing di masa tua.

(Selesai pukul 02.14 pagi - merasa segar setelah lama tak menulis) 

No comments:

Post a Comment