Tentang

Sunday, July 31, 2016

Jakarta, Rembulan, dan Keterasingan (Esai oleh Seno Gumira Ajidarma)

Sejak tahun '60-an, Jakarta sudah menjadi kota yang mengasingkan manusia.

Sobron Aidit, suatu ketika di tahun 1954, menulis sajak. Saya kutipkan selengkapnya:
Bulan berlayar, hatiku hambar
Malam begini malam berbisa
Karena aku bukan di tempatnya
Dan dada rasa terbakar.

Bulan terang di Jakarta
Sedang hati jauh menyisih
Mencari ibu dan kekasih
Di pagi hijau terlontar menemu duka

Di sini beginilah aku
Tidak punya pangkalan
Buat menambat pilu.

Terdiam, berjalan, menghilang
Tanpa menemu hakekat
Sedang perhitungan sudah berbilang.
Sajak itu berjudul Malam Terang di Jakarta. Dari sebuah sajak, ternyata kita bisa menghayati jiwa sebuah kota, dan segera kita lihat bahwa Jakarta dalam pandangan aku-lirik memang terang. Namun dalam ke-terang-annya itu, kita baca baris-baris yang menunjukkan bahwa manusia dalam kota itu tidaklah seterang apa yang visual. Pada bait pertama terbaca baris: aku bukan di tempatnya; bait ke dua: hati jauh menyisih; bait ke tiga: tidak punya pangkalan; dan bait ke empat: tanpa menemu hakekat. Segalanya menjadi asing di Jakarta, manusia terasing di kotanya sendiri, meski di kota seperti Jakarta kalkulasi profesional berlangsung dengan cermat: sedang perhitungan sudah berbilang.

Tuesday, July 26, 2016

Tentang Kematian, Tobil, dan Kesimpulan

Saya sebenarnya cuma mau bicara tentang pengalaman saat membikin skripsi, namun, agar tulisan ini sedikit lebih berisi, saya perlu mengutip kisah singkat tentang Pak Sastro. Pak Sastro adalah tokoh utama dalam Kooong, novel karangan Iwan Simatupang. Ia adalah orang baik namun bernasib murung. Istrinya meninggal akibat diterjang banjir dari waduk desa yang jebol saat ia sedang menjemur padi. Pak Sastro tak ikut mati saat itu, sebab kebetulan ia sedang pergi ke luar kota. Amat, anak laki-laki Pak Sastro, memutuskan untuk pergi ke Ibukota bersama pemuda-pemuda desa yang berhasil selamat dari banjir. Satu kematian lewat, satu kematian datang merundung. Amat mati dilindas lokomotif langsir di dekat Stasiun Senen. Kata masinis kereta api - yang menggilas Amat - kepada Pak Sastro (diceritakan bahwa mereka memang betulan bertemu), 
"Semua orang melihat, si Amat itulah yang salah. Lokomotif lagi mendengus-dengus di hadapan hidungnya, tahu-tahu dia nyelonong menyeberang jalan. Ini bukan salah lagi namanya, tapi perbuatan nekad. Ya! Aku malah makin cenderung berpendapat, perbuatan si Amat itu perbuatan yang disengaja."
Si Amat mati bunuh diri, batin Pak Sastro. Ia berjalan terhuyung-huyung, hatinya remuk, pikirannya  sibuk,
"Hm! Jadi, si Amat nekad. Mengapa? Apa dia sudah tak ingat lagi pada ajaran-ajaran yang diperolehnya dari guru mengaji di desa dulu? Tidakkah dia tahu, Tuhan melarang perbuatan nekad? Putus asa? Bunuh diri?"
Terhadap kematian Amat dan persepsi Pak Sastro, ada pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilayangkan. Beberapa mungkin tidak terjawab dengan meyakinkan, salah satunya adalah: "Layakkah kita menilai manusia hanya dari cara ia mati?".

Tuesday, July 5, 2016

Tunggu punya tunggu

Lusa lebaran
Sidang skripsi minggu depan, kurang lebih
Pukul empat subuh ini sahur terakhir; kau jangan lupa bangun.