Tentang

Tuesday, September 8, 2015

Sebelum Menjadi Pembela Rakyat Kesiangan



Judul Buku                  : Pendidikan Kaum Tertindas
Penulis                        : Paulo Freire
Penerbit                      : LP3ES
Jumlah Halaman         : 221 halaman
            
Pendidikan Kaum Tertindas (PTK) adalah buku kecil yang tidak mudah ditamatkan. Saya butuh kurang lebih dua minggu untuk betul-betul menyelesaikan dan mencoba memahami pemikiran-pemikiran Paulo Freire dalam buku ini. Meskipun begitu, membaca PTK adalah pengalaman yang menyenangkan dan sangat membuka pikiran.

PTK terdiri dari empat bab yang membahas beberapa ide pokok, yaitu: pembenaran bagi pembebasan kaum tertindas; model pendidikan “gaya bank”; serta prinsip dialogika dan antidialogika. Dalam PTK, selain menggunakan perspektif pertentangan kelas Marx, Freire banyak mendasarkan analisisnya pada filsafat manusia, sehingga pendekatan yang ia pakai sangat humanis. Dalam membahas pembebasan kaum tertindas misalnya. Freire berkali-kali menyatakan bahwa pembebasan hanya dapat dilakukan oleh kaum tertindas, bukan oleh kaum penindas. Pembebasan yang diupayakan oleh kaum tertindas harus dengan maksud untuk menegakkan nilai kemanusiaan; pembebasan ini dilakukan tidak hanya terhadap kaum tertindas, namun juga terhadap kaum penindas. Dalam sudut pandang ini, Freire hendak menyatakan bahwa pembebasan kaum tertindas tidak ditujukan untuk menghancurkan dan kemudian menggantikan posisi kaum penindas. Apabila hal ini terjadi, pembebasan tersebut lahir dari motif eksistensial yang salah, karena pembebasan demikian hanya akan melahirkan kaum penindas baru.

Adalah kurang tepat apabila PTK hanya ditimbang sebagai buku tentang pendidikan saja. Menurut saya, PTK adalah lebih dari itu. PTK adalah modul pedoman yang menyediakan dasar filosofis bagi upaya pembebasan terhadap penindasan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun. Dalam upaya pembebasan tersebut, pendidikan memiliki peran yang signifikan dalam penyadaran kaum tertindas. Sebab penindasan yang telah berlangsung lama, Freire mengingatkan bahwa pada diri kaum tertindas selalu terdapat “ketakutan akan kebebasan”, penindasan tersebut telah membuat mereka merasa serba nyaman (dan tak sadar sedang ditindas), sehingga melupakan tugas pembebasan. Selain itu, kaum tertindas yang telah lama ditindas, menurut Freire, sedikit banyak telah mengadopsi dan menginternalisasi nilai-nilai kaum penindas dalam dirinya. Internalisasi itulah yang menyebabkan kenyamanan dan kedamaian palsu pada diri kaum tertindas. Untuk itu, fokus pertama dan utama pendidikan kaum tertindas adalah penyadaran terhadap dua hal ini.

Narasi perlawanan terhadap kedamaian palsu Freire ini dapat ditemukan padanannya pada kritik ideologi Habermas. Terminologi ideologi pada pemikiran Habermas dan tradisi Teori Kritis merujuk pada “kesadaran palsu” atau “ilusi sosial”, berupa keyakinan terhadap mitos-mitos kebenaran yang mendukung kepentingan-kepentingan tertentu serta melanggengkan hegemoni. Begitupun dengan konsep internalisasi nilai-nilai kaum penindas dalam diri kaum tertindas, juga memiliki kemiripan dengan pemikiran postkolonial. Internalisasi nilai-nilai kaum penindas itu disebut sebagai “mimikri” dalam pemikiran Fanon, yaitu keadaan tercerabutnya diri kaum terjajah dari identitas tradisionalnya, dan kemudian dipaksa untuk beradaptasi dengan identitas dan laku hidup penjajahnya. Dengan okupasi identitas kaum penjajah yang mengalienasi manusia terjajah secara kejiwaan, hal tersebut membantu melahirkan sindrom rendah diri pada kaum terjajah. Selain memiliki keterkaitan dengan konsep “ketakutan akan kebebasan” Freire, Habermas dan Fanon, seperti Freire, sama-sama mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat emansipatoris dan praksis.

Pendidikan yang membebaskan haruslah bersifat dialogis. Freire menentang pendidikan “gaya bank”, yaitu pendidikan yang mengandaikan guru sebagai “penabung” ilmu dan murid hanya berperan pasif sebagai ”celengan”. Freire menengarai pendidikan model ini sebagai resonansi dari nilai-nilai yang diyakini kaum penindas, sehingga pendidikan “gaya bank” tidak dapat memberikan sumbangsih apa-apa terhadap upaya pembebasan. Malahan, pendidikan “gaya bank” tersebut makin mengekalkan praksis penindasan itu sendiri.

Model pendidikan yang ditawarkan oleh Freire adalah pendidikan yang bersifat dialogis. Dalam model pendidikan ini, posisi guru tidak sebagai yang-tahu-segalanya dan murid tidak dianggap tidak tahu apa-apa. Pemosisian subjek guru dan murid dalam pendidikan dialogis adalah guru-yang-murid dan murid-yang-guru. Pendidikan dialogis menghendaki adanya dialog antara guru-yang-murid dan murid-yang-guru untuk saling melengkapi keterbatasan pengetahuan. Dengan adanya dialog, maka akan terjadi pertukaran pengalaman, guru dan murid akan saling membuka dirinya dan mengada menjadi manusia seutuhnya secara bersama-sama. Proses mengada bersama (saling memerdekakan) ini mutlak diperlukan dalam upaya pembebasan. Prinsip dialogis diterapkan tidak hanya pada pendidikan, namun juga pada hubungan antara pemimpin revolusi dan kaum tertindas. Pemimpin revolusi tidak boleh menjadi tiran yang egois bagi kaum tertindas yang ia pimpin. Karena tidak lain, pemimpin revolusi yang tidak dialogis adalah kaum penindas itu sendiri.

 Lawan dari prinsip dialogis adalah prinsip antidialogis. Freire menjelaskan bahwa prinsip inilah yang dipeluk oleh kaum penindas dalam melanggengkan penindasannya. Prinsip ini diejawantahkan dalam tindakan antidialogis yang setidaknya memiliki empat watak, yaitu watak penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Untuk mematahkan tindakan antidialogis ini, Freire kembali menawarkan prinsip dialogis, yang diwujudkan dalam tindakan “kerja sama” demi tujuan “persatuan untuk pembebasan”. Kerja sama dan kebersatuan (antara pemimpin revolusi dan kaum tertindas) tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk organisasi yang progresif. Praktek pembebasan ini harus berupa praksis – yang tidak mendikotomikan refleksi dan tindakan – agar tidak terjebak pada verbalisme atau aktivisme belaka (pemikiran yang berorientasi praksis ini dapat pula dilihat misalnya pada tradisi pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt).

Jika teori Freire dihadapkan pada realitas di Indonesia, menurut saya terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan kritik dan catatan. Saya pribadi merasakan perbedaan metode pendidikan di sekolah sejak SD hingga SMA-Universitas. Setidaknya hingga tingkat SMP, metode pendidikan yang saya alami masih merupakan pendidikan “gaya bank”. Namun, kira-kira sejak SMA hingga Universitas, sesuai dengan berubahnya kurikulum, metode pendidikannya menjadi lebih berorientasi pada pendidikan dialogis; guru hadir sebagai fasilitator dan diskusi antar peserta diskusi diutamakan. Meskipun metode ini saya pandang baik, namun terdapat beberapa orang rekan saya yang berkeberatan dengan metode ini. Bagi mereka metode “gaya bank” lebih baik karena mereka merasa guru lebih tahu segalanya dan mereka takut salah dalam berpikir. Agaknya Freire benar, mereka yang lebih memilih pendidikan “gaya bank” merasa “takut akan kebebasan” dan nilai “penindas” masih terinternalisasi pada diri mereka dengan menganggap metode “gaya bank” lebih baik daripada metode dialogis. Hal ini kurang lebih sama dengan wacana orang Indonesia yang merindukan Orde Baru; mereka merasa nyaman dalam penindasan karena tidak sadar telah ditindas. Bahkan lebih buruk, mereka merindukan untuk ditindas lagi!

Seringkali, para pelaku advokasi (baik sosial maupun hukum) menganggap diri mereka sebagai pahlawan, pembela kaum tertindas yang tahu segalanya. Juga sebagai guru-penabung, pemberi fatwa pembebasan kepada umat tertindasnya yang dipandang bodoh dan tak mengerti dunia pergerakan. Masyarakat terpinggirkan yang diadvokasi dianggap tidak tahu menahu dengan keadaan ketertindasannya serta diasumsikan tak paham sama sekali dengan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melepaskan belenggu ketertindasannya itu. Jika kita mengambil pemikiran Freire sebagai basis, maka kita percaya bahwa kaum tertindas memiliki keinginan dan kekuatan yang otonom untuk membebaskan dirinya sendiri. Pelaku advokasi tidak perlu menganggap dirinya sebagai orang paling hebat yang memberikan kekuatan liberasi kepada kaum tertindas yang ia advokasikan. Saya berpikir, bahwa sebelum pelaku advokasi pelan-pelan menjadi subjek otoritarian yang menjajah, tampaknya mereka butuh untuk menamatkan PTK dan memahami betul metode dialogis yang Freire perkenalkan. Dengan menggandeng Freire, semoga saya, anda, atau siapapun yang ingin berpraksis pembebasan, tidak menjadi pembela rakyat kesiangan.

---

Naskah ini tadinya dibuat untuk keperluan registrasi suatu kursus antikorupsi di Jakarta. Terlalu sayang jika hanya disimpan di dokumen laptop. Karena saya baru membaca sedikit (sekali) tentang Habermas dan postkolonial, maka saya adakan sedikit perubahan dan penambahan. Gambar di kepala tulisan diambil dari http://ibbuku.blogspot.com/2014/03/pendidikan-kaum-tertindas-paulo-freire.html.

No comments:

Post a Comment