Tentang

Tuesday, October 20, 2015

Fajar, Teater, dan Antariksa


Perkenalkan adik laki-laki saya, Fajar. Ia  sekarang duduk di kelas 7 SMP. Usianya baru 12 tahun.
           
Memerhatikan adik yang sedang tumbuh dan berkembang itu mengasyikkan. Sabtu dua minggu lalu, saya pulang ke rumah. Kira-kira pukul 12 siang, saya ikut Mama dan Papa pergi menjemput Fajar ke sekolahnya. “Fajar hari ini ekskul (ekstrakurikuler) teater”, kata Mama. Sampai di sekolah, kami menunggu barang setengah jam, Fajar belum selesai dengan ekskulnya. Selesai ekskul, ia menghampiri kami dengan Hilman, seorang temannya, yang hendak menebeng pulang.

Ketika mendengar bahwa adik saya ikut ekskul teater, saya sudah berprasangka terlebih dahulu. Pikir saya, teater macam apa yang bisa anak SMP pentaskan? Pasti bukan teater yang rumit dan sulit. Paling-paling “hanya” drama atau kabaret lucu-lucuan yang naskahnya tak susah dan ringan-ringan saja untuk dipahami anak SMP (maafkan saya telah meremehkanmu, Dik). Saat SMA, kelas saya pernah membuat drama lucu-lucuan untuk keperluan ujian mata pelajaran kesenian. Saya berpikir, kami yang SMA saja konsep dan kemampuannya hanya sampai di drama komedi, apalagi anak-anak SMP ini?

Friday, October 9, 2015

Dua Tesis tentang Cantik


*

Istilah “cantik” dalam argumen singkat ini menunjuk pada kerupawanan paras perempuan sekaligus laki-laki. Selain karena akan terlalu panjang dan – kata seorang teman yang bertani kopi di Jatinangor – “tak dapat prosanya” jika memaksakan menyebut “cantik dan ganteng”, saya juga mencurigai bahwa istilah “ganteng” atau “tampan” hanyalah bahasa yang dicari-cari saja untuk menemukan padanan istilah “cantik” untuk laki-laki. Padahal, ketiganya sama-sama menerangkan tentang paras yang rupawan, atau, menurut Google Translate: “pleasing the senses or mind aesthetically”.

1.

Ada mitos yang harus diuji (dan dipatahkan jika terbukti keliru) pada setiap pelabelan (labeling) yang dianggitkan pada seseorang. Menantang  mitos perlu dilakukan karena saking berurat-akarnya, mitos itu kadung menjadi hegemoni. Pada hegemoni, terdapat kesadaran palsu serupa kewarasan yang tertutup asap dan terhadapnya, harus diadakan pengungkapan kebenaran.

Masyarakat, setidaknya berdasarkan teori pelabelan yang tadi pagi saya pelajari di kelas Kriminologi dan Viktimologi, adalah entitas yang suka mengambil peran sebagai hakim dan merasa dirinya paling benar. Dalam perspektif yang sangat strukturalis, masyarakat diteorikan sebagai suatu struktur pencemburu yang gerah jika melihat ada seseorang di dalam tubuhnya yang “menyimpang”.