Tentang

Wednesday, August 24, 2016

Setelah Yogyakarta, Hari-Hari Akan Datang


Minggu sore tanggal 21 Agustus 2016. KA Bogowonto yang mengangkut kami -Tyo, Cassandra, Kezia, Digda, dan saya- berhenti di Stasiun Senen. Kami kembali ke Jakarta setelah lima hari empat malam berlibur ke Yogyakarta. Saat saya sampai di rumah, yang tersisa dari perjalanan itu adalah rasa lelah, kantuk, serta melankoli yang sukar ditepis. Perjalanan kali ini meninggalkan beban yang terasa asing, sementara perjalanan-perjalanan lain lazimnya diakhiri dengan hati ringan. Waktu itu, saya ingat, saya pulang dengan tidak bersemangat. 

Saya lumayan yakin sumber beban itu tidak terletak dalam substansi perjalanannya. Bukan, ini bukan masalah kekesalan tak terucapkan terhadap nama-nama yang saya sebut di atas, atau ketidakpuasan terhadap tempat-tempat yang kami sambangi. Beban ini bersifat eksternal-perjalanan. Setelah memilah-milah jalinan benang yang kusut di hati dan kepala, hasil tebakan terbaik saya menunjukkan bahwa beban itu paling mungkin lahir dari keengganan menghadapi konsekuensi-konsekuensi yang ditaburkan nasib seusai perjalanan ke Yogyakarta tamat. (Perlu dijelaskan, kami berlima menyelesaikan studi dan lulus tahun ini. Ini berarti perjalanan jauh terakhir kami secara bersama-sama, sebagai mahasiswa.)

Saat berputar-putar di sekujur Yogyakarta, kami berbicara dan bercanda tentang apa saja. Mulai dari hal penting hingga printilan yang tak ada signifikansi sama sekali. Dari daftar topik-topik obrolan itu, ada satu hal yang tidak (mau) kami bicarakan: tentang hal-hal mengenai dan sekitar "Mau apa kau setelah lulus?". Ini topik mengerikan yang berpotensi menimbulkan kegundahan hati setelah mempercakapkannya. Juga telah kami sepakati, saat KA Gajahwong menggendong kami ke Yogyakarta pada 17 Agustus 2016, bahwa topik ini “jangan sampai dibahas” karena “akan membikin depresi”. Bisa jadi, perjalanan kami terasa menyenangkan hanya karena topik tersebut tidak pernah kami bahas. Kami pikir, waktu selama di Yogyakarta selayaknya dihabiskan murni untuk mencari bahagia dan melepas lelah saja, sedang urusan hidup pasca kuliah bisa dipikir-pikir di lain hari.


***


Saya telah dihantui pertanyaan semacam itu sejak masa-masa awal penulisan skripsi. Syukurnya, waktu itu saya masih menghadapi kewajiban menyelesaikan skripsi yang nyata di depan mata, sehingga saya punya alasan untuk menunda berpikir tentang rencana hidup pasca kuliah. Saya pakailah logika penyangkalan: apabila memikirkan suatu hal hanya akan membuatmu pusing sebab tak dapat menemukan jawaban yang memuaskan untuk hal itu, lebih baik tak usah memikirkannya. Langsung saja disangkal begitu ia mengetuk mau masuk ke kepala. Ketika urusan skripsi dan wisuda kelar, pertanyaan itu kembali merayapi otak, kali ini, mau tak mau ia harus dihadapi, tak bisa lagi ditolak-tolak.


Bagaimana cara paling pakem untuk menjawab pertanyaan itu? Orang bisa jawab dengan sederhana: pikirkan, putuskan, lalu jalani. Semuanya kau lakukan sendiri, sebab kaulah yang memegang hidupmu. Tak ada faedahnya meminta orang lain menjawabkannya untukmu. Jika mengikuti pendapat ini, dapat kita pahami bahwa jawaban terhadap pertanyaan tersebut dilahirkan dari konflik pikiran serta batin yang sifatnya selalu personal. Karena bersifat personal, tiap-tiap orang mesti meneliti dirinya sendiri; melokalisasi hal-hal tertentu yang berkaitan dengan visi mengenai masa depannya. Hal-hal tertentu tersebut kemudian menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk dipilih. Tiap kemungkinan yang dipilih membawa konsekuensinya masing-masing. Bagaimana jika yang saya pilih adalah A, sehingga B dan C harus saya sisihkan? Jika saya akhirnya memilih A, bagaimana konsekuensinya terhadap urusan H dan Y yang datang belakangan? Pada kasus saya, akar kepusingan eksistensial macam begini adalah ketidakkuasaan saya dalam menjatuhkan putusan, secara jernih dan penuh pertimbangan, terhadap kemungkinan-kemungkinan yang seharusnya saya pilih. Selain itu, kadang saya juga tidak mampu membangun gambaran di kepala, mengenai konsekuensi apa yang akan timbul jika saya memilih suatu kemungkinan. Pada keadaan lain, konsekuensi itu dapat saya bayangkan dengan jelas, namun saya tak berani menghadapinya. Semakin dipikirkan, semakin saya sadar bahwa saya tak punya kendali yang kokoh dan kuat terhadap kehidupan yang ingin saya jalani di hari mendatang.


Kendali yang tak kokoh itu, saya pikir, dapat disebabkan oleh banyak perkara. Ia dapat berbentuk ideal-ideal masa muda yang ingin diteruskan; keinginan untuk hidup dekat mereka yang tertindas, sementara perut sendiri perlu diisi; wacana melanjutkan pendidikan; visi tentang pekerjaan idaman; atau bahkan kemungkinan menjajaki perkawinan. Pendeknya, keadaan ini, bagi saya, adalah terjadinya kontestasi berbagai teks sosial yang minta dipertimbangkan oleh manusia. Di sana terjadi tarik-menarik, sodok-menyodok, antara teks sosial yang satu dengan yang lain. Manusia yang ditarik-disodok belum tentu dapat memutuskan mana teks yang paling tepat untuk ia pilih. Ditambah dengan penyadaran bahwa manusia tak selalu tahu tentang kehidupan yang ia jalani, kontestasi itu jadi makin brutal. Namun demikian, menurut saya, keadaan yang penuh kerentanan ini tak selamanya harus dimaknai secara negatif. Mengutip Fuad Hassan, keadaan ini dapatlah disebut sebagai fase “Penyeberangan”. Disebutkan oleh Hassan:

Penyeberangan itu merupakan ikhtiarnya untuk membangun suatu dunia yang dirancangnya sendiri, tetapi nyatanya dunia rancangannya tidak pernah akan rampung bulat, tiap perampungan akan menganga lagi menuntut penyeberangan lebih lanjut.

***

Sepertinya, saya akan memilih kemungkinan-kemungkinan yang saya percaya paling tepat, setidaknya untuk masa sekarang. Jika kemungkinan-kemungkinan itu dipandang tidak tepat oleh saya-di-masa-depan, tak apa. Toh setelah kemungkinan-kemungkinan itu dipilih, akan muncul lubang-lubang menganga yang menuntut dipilihnya kemungkinan-kemungkinan lain. Fase “Penyeberangan” tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali sampai manusia mati. Dengan demikian, saya, sebagaimana manusia-manusia lain, akan terus menyeberang hingga habis napas. Harapan saya, semoga penyeberangan yang akan saya jalani sekarang dapat saya lewati dengan selamat.

1 comment:

  1. Bang Dion, ini Fira. Nulis terus ya bang! Kali bisa sumbang ke barikarafhui.com :)

    ReplyDelete