Tentang

Thursday, August 7, 2025

Enforcing transnational non-conviction-based confiscation orders: comparing the United Nations, European Union, Australian, and Indonesian legal frameworks (Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 11, No. 1, 2025)


The present article compares and critically examines the enforcement of transnational non-conviction based confiscation (NCBC) orders in the United Nations (UN), European Union (EU), Australian, and Indonesian legal frameworks utilising comparative legal and document analyses. The results serve as a reference for regulating a fair and effective framework for transnational NCBC enforcement in Indonesian law. This research compares the nature of NCBC, adaptive response conceptualisation, mechanisms facilitating transnational NCBC enforcement, and procedural safeguards in the transnational enforcement stage. It concludes that the relevant UN, EU, and Australian legal frameworks can serve as benchmarks for transnational NCBC enforcement in Indonesia, specifically regarding norm formulation of NCBC, international cooperation for effecting transnational NCBC orders, and the corresponding procedural safeguards to ensure fairness. However, the research findings indicate that practices of transnational NCBC enforcement in these jurisdictions have yet to generate significant references for empirical effectiveness benchmarking. Furthermore, this article discovers crucial implications for the criminological theory of adaptive response. Lastly, reconceptualisation of the Indonesian NCBC regime and proposals for reforming the Criminal Assets Confiscation Bill and the Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Act are recommended.

https://doi.org/10.32697/integritas.v11i1.1520

https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/1520 

Wednesday, June 2, 2021

Informasi Pemesanan Buku "Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia" oleh Dion Valerian


Buku "Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia" oleh Dion Valerian. Kata Pengantar oleh Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. Diterbitkan oleh Ruas Media (Grup Genta Publishing).
"Khusus menyangkut analogi, penafsiran dan hal-hal lain yang terkait, memang ... tidak mudah menemukan bahan-bahan pustaka yang membahas hingga praktiknya. Oleh karena itu, buku ini menjadi penting." - Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
Info buku:
Dimensi: 14 x 21 cm
Tebal: x + 206 hlm.
Kertas: HVS 70 GSM
Harga: Rp55.000,00

Sinopsis:
Pandangan dominan dalam ilmu hukum pidana menyatakan bahwa penerapan analogi dilarang dalam hukum pidana, karena melanggar asas legalitas. Di sisi lain, penafsiran ekstensif justru diperbolehkan, padahal keduanya sama-sama memperluas cakupan makna ketentuan pidana dalam undang-undang, sehingga dapat mencakup perbuatan yang sebelumnya tidak termasuk dalam ketentuan pidana tersebut.

Dua hal yang menjadi fokus penelitian buku ini adalah: perbedaan dan persamaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana; dan penerapan analogi dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997.

Buku ini mengemukakan perspektif alternatif, juga baru, dalam pemahaman terhadap asas legalitas dan metode penemuan hukum, sehingga patut dibaca oleh peminat kajian ilmu hukum pidana, filsafat dan teori hukum, serta pemelajar ilmu hukum secara umum.

INFORMASI PEMESANAN BUKU:
1. Pemesanan melalui email dionvalerian@yahoo.com
2. Koperasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia - Kopma FHUI (Instagram, Tokopedia)
3.  Law Book Store Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Instagram, Shopee)

Terima kasih!

Wednesday, August 26, 2020

Literatur yang Merintis Jalan: Buku-buku Hukum Pidana Pertama di Indonesia Merdeka

*sebelumnya diterbitkan di bahasan.id

Pendahuluan

Mr. Drs. Ernst Utrecht, yuris yang menulis banyak buku pengantar penting di bidang ilmu hukum itu, dalam Kata Pendahuluan buku Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I (terbit pertama kali tahun 1958) menjelaskan bahwa latar belakang penulisan buku tersebut adalah karena “… dalam bahasa nasional kita belum ada buku pelajaran hukum pidana yang ditulis oleh seorang pengajar aktif di kalangan universitas”. Secara tersirat, Utrecht mengakui keberadaan beberapa buku berbahasa Indonesia tentang asas-asas hukum pidana yang telah terbit sebelum 1958, yang ditulis oleh yuris-yuris non-pengajar aktif universitas. Memang, di dalam buku yang sama, di bawah topik Perpustakaan Hukum Pidana di Indonesia, Utrecht membuat daftar beberapa buku tentang asas-asas hukum pidana Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) dan Indonesia yang ditulis oleh yuris Indonesia maupun yuris Belanda.

Artikel ini akan menelusuri riwayat buku-buku tentang asas-asas hukum pidana Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia pasca Proklamasi 1945, beserta ulasan ringkas mengenai profil penulisnya. Literatur-literatur tersebut memiliki peran historis yang amat penting, tidak saja sebagai penanda kerja-kerja awal intelektual hukum Indonesia, namun juga dalam merintis jalan bagi khazanah keilmuan hukum pidana Indonesia.

Buku-buku Pertama tentang Asas-asas Hukum Pidana Indonesia

Dalam daftar Utrecht, terdapat empat literatur tentang asas-asas hukum pidana yang dipandang sebagai pustaka-pustaka paling awal tentang hukum pidana Indonesia, yaitu karya Karni, Tirtaamidjaja, van Schravendijk, dan Moeljatno. Artikel ini hanya akan membahas buku-buku dari tiga penulis pertama, sementara tulisan Moeljatno yang dipublikasikan dalam bentuk artikel majalah berjudul “Usul tentang Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Bahasa Indonesia” (Hukum, 1954. 1, hlm. 3-20) tidak dibahas lebih lanjut. Daftar ketiga buku itu akan penulis tambahkan dengan buku Utrecht sendiri dan buku R. Tresna. Berikut adalah daftar tersebut diurutkan dari yang paling awal hingga yang paling akhir terbit: 

Sunday, August 18, 2019

Soal Intelektualitas dan Integritas: Suatu Perjumpaan



Hari Minggu (11 Agustus 2019)  lalu, selepas acara kurban di masjid komplek, saya berpapasan dengan pasangan suami-istri Pak Ansyahrul dan Bu Sri di depan rumah. Saya menyalami mereka dan mengenalkan diri. Pak Ansyahrul ingat ia pernah menerima buku saya, dan ia katakan bahwa ia sudah baca buku itu, serta setuju bahwa “penafsiran itu penting bagi hakim”. Pada percakapan itu, saya menyebut tentang dua buku tulisan Pak Ansyahrul yang pernah saya baca, satu tentang sejarah peradilan di Jakarta, serta satu lagi tentang etik hakim dan pemuliaan peradilan. Ia belajar ilmu hukum di UI, angkatan 1964, dan penulisan skripsinya dibimbing guru besar kita yang tak tergantikan, Prof. Dr. Gouw Giok Siong. Waktu itu nama fakultasnya masih “Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasjarakatan (FHIPK)”.

Pak Ansyahrul adalah peletak dasar sistem pengawasan hakim di Mahkamah Agung. Ia adalah Kepala Badan Pengawasan MA yang pertama, dan terakhir bertugas sebagai Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Ia masuk dalam daftar “Hakim Pilihan” Majalah Tempo edisi 9 Agustus 2010. Ia dikenal sebagai hakim berintegritas yang hidupnya amat lurus. Hingga sekarang pun ia masih sering mengisi pelatihan-pelatihan tentang etik hakim.

Buku-buku tulisan Pak Ansyahrul menarik bagi saya, karena ia menaruh minat serius pada kajian sejarah hukum. Saya ingat, ia mengutip beberapa Indonesianis jagoan dalam tulisannya, semisal Daniel Lev dan Denys Lombard. Dari informasi yang ia sampaikan, saya baru tahu bahwa Indonesia pernah menggunakan sistem peradilan juri pada saat pendudukan Raffles, dan bagaimana kenyataan tersebut, bertungkus-lumus dengan segala bentuk adopsi/transplantasi hukum lain yang pernah kita terapkan di sini, membuat Indonesia menjadi “negara dengan sistem hukum paling rumit di dunia” (kalimat ini ia kutip dari Lev). Dengan uraian pendek ini saja, dapat tergambar bahwa Pak Ansyahrul adalah yuris yang melek kajian ilmu sosial serta fasih berbicara sejarah. Mungkin ini ada hubungannya dengan latar belakangnya sebagai alumni FHIPK, yang menurut Satjipto Rahardjo, pada masa itu dianggap banyak kalangan sebagai “manusje van alles”, manusia yang bisa/menguasai segala-galanya.

Dalam perbincangan itu, Pak Ansyahrul menanyakan kepada saya, apakah saya sudah baca “Korupsi” tulisan B. Herry Priyono? “Sudah mulai baca, Pak,” saya bilang. Ia mengulas singkat buku itu dan bercerita bagaimana pada zaman antik, cakupan makna istilah “korupsi” lebih luas daripada yang kita pahami saat ini, dan korupsi di masa itu dipandang sebagai perbuatan pengkhianatan kepada publik. Ia sebutkan pula bahwa di Indonesia, “korupsi sudah setua republik”.

Berhubungan dengan topik-topik bahasan ini, saya menanyakan pada Pak Ansyahrul tentang dua buku yang agaknya masuk dalam minat studinya: “Melawan Korupsi” tulisan Vishnu Juwono (sejarah politik pemberantasan korupsi di Indonesia) dan “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional” tulisan Soetandyo Wignjosoebroto (sejarah pembentukan hukum di Indonesia dari zaman kolonial hingga zaman pasca kemerdekaan). Pak Ansyahrul tampaknya belum membaca dua buku tersebut, sehingga saya janjikan dua buku itu kepadanya.

---
Hari ini (18 Agustus 2019), saya bertamu ke rumah Pak Ansyahrul untuk memberikan dua buku yang sebelumnya saya janjikan tersebut. Waktu masuk ke dalam rumahnya, saya langsung mengenali buku di atas meja kerja Pak Ansyahrul yang terbuka halamannya: “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung” tulisan Sebastiaan Pompe. Ternyata ia sedang menyiapkan materi untuk tiga kegiatan pelatihan yang akan ia narasumberi pekan ini.

Dalam perjumpaan kedua ini, percakapan lebih banyak diisi dengan soal-soal pribadi dan keseharian: “Bagaimana pekerjaan di kantor?” “Baik-baik saja, Pak, Bu,”; “Bagaimana, sudah punya calon?” “Alhamdulillah sudah, Pak, Bu,”; “Kapan rencananya?” “… (di sini saya hanya sanggup cengar-cengir saja)”.

Selain itu, Pak Ansyahrul menyampaikan bahwa masalah-masalah yang sekarang kita hadapi di lembaga pemasyarakatan sebenarnya bisa diatasi jika sistem hakim wasmat (pengawasan dan pengamatan) diterapkan dengan serius. Ia mengutip sistem Perancis yang hakim-hakimnya memiliki otoritas kuat hingga tahap pengawasan dan pembinaan pemasyarakatan.

Mengenai integritas penegak hukum, saya menafsirkan dari ucapan-ucapan Pak Ansyahrul bahwa hakim/penegak hukum penting untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas, sehingga konflik kepentingan tersebut bisa dihindari pada kesempatan pertama. 

Satu hal lagi, dan ini mungkin yang paling penting, saat berbicara tentang prinsip seorang penegak hukum untuk “tidak bisa dibeli”, ia nyatakan secara serius bahwa “bagi penegak hukum, itu (tidak bisa dibeli) adalah aturan Pasal 1-nya”.

Saya belajar banyak hal dari dua perjumpaan dengan Pak Ansyahrul ini. Pertama, bahwa penting bagi yuris-penegak hukum untuk terus menjaga laku hidup intelektual dalam keseharian; banyak membaca, belajar, dan menulis, tidak hanya pada disiplin ilmu hukum melainkan juga disiplin ilmu sosial dan ilmu-ilmu lain. Kedua, bahwa nyawa (atau “api yang membuat terus menyala”) suatu profesi adalah integritas, dan reputasi yang baik hanya dapat lahir dari integritas yang dijaga secara kukuh seumur hidup.

Semoga Pak Ansyahrul sekeluarga sehat selalu.