Tentang

Friday, December 12, 2025

Memperketat Implementasi Perjanjian Penundaan Penuntutan

Pelembagaan dan implementasi PPP tetap perlu mempertimbangkan serius mengenai integritas penegak hukum, transparansi dan akuntabilitas proses, pembatasan diskresi, serta potensi penyalahgunaan wewenang. Salah satu tujuan pemidanaan untuk mengadili dan menghukum tindak pidana dengan sanksi yang proporsional juga tetap harus dipenuhi. Dengan adopsi PPP dalam KUHAP 2025, terdapat dua metode penyelesaian perkara pidana korporasi: penuntutan dan penjatuhan pidana konvensional, atau PPP dengan hasil akhir penghentian penuntutan. Dalam Pasal 328 ayat (3) dan (4) KUHAP 2025, permohonan PPP dapat diajukan oleh tersangka/terdakwa/advokat kepada penuntut umum sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum dapat menerima atau menolak permohonan tersebut berdasarkan “pertimbangan keadilan, korban, dan kepatuhan tersangka terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Memang lebih ideal jika norma ini dapat mengatur secara rinci, konkret, dan komprehensif soal persyaratan yang harus dipenuhi korporasi dalam mengajukan permohonan PPP. Persyaratan yang komprehensif juga lebih menjamin akuntabilitas penuntut umum dalam prosedur PPP, karena dipandu oleh kriteria yang jelas untuk menilai kelayakan permohonan PPP dari korporasi. Persetujuan atas permohonan PPP perlu didasarkan pada syarat yang ketat, sehingga hanya korporasi yang memenuhi semua syaratlah yang dapat mengikuti PPP dengan penuntut umum. Sebaliknya, korporasi yang tidak memenuhi syarat tetap dituntut pidana. Dengan skema ini, dapat dilakukan penyaringan terhadap perkara mana yang dituntut pidana dan mana yang diselesaikan dengan PPP.

Untuk memaknai dan menerapkan kriteria “pertimbangan keadilan, korban, dan kepatuhan” dalam Pasal 328 ayat (4) KUHAP 2025 pada kasus konkret, permohonan PPP hendaknya ditolak dan penuntutan pidana terhadap korporasi tetap diterapkan dalam perkara-perkara yang memiliki tingkat ketercelaan dan keparahan tinggi, amat dikecam dan/atau menimbulkan kerugian substansial pada korban/publik, terdapat pengulangan tindak pidana, pelakunya tidak mau bekerja sama dengan penegak hukum, dan/atau kriminalitas sudah menjadi budaya korporasi. Lebih lanjut, pengetatan syarat PPP juga dapat diterapkan dengan menilai kepatuhan dan komitmen korporasi untuk bekerja sama dalam penegakan hukum, misalnya dengan pelaporan mandiri dan kerja sama penuh sebagaimana praktik Inggris.

Dipublikasikan di Kompas.com dengan judul KUHAP Baru: Memperketat Implementasi Perjanjian Penundaan Penuntutan.

Pengetatan syarat dapat memperkuat implementasi PPP agar lebih proporsional, akuntabel, dan adil, serta hanya diterapkan dalam perkara korporasi yang memenuhi kriteria. Dalam perspektif yang lebih umum, pengetatan syarat PPP dapat mendorong penguatan tata kelola dan budaya korporasi yang berintegritas dan patuh hukum

Sumber: https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/12/04/154021180/kuhap-baru-memperketat-implementasi-perjanjian-penundaan?page=all#page2.

Editor : Sandro Gatra

Membership: https://kmp.im/plus6
Downl
Pengetatan syarat dapat memperkuat implementasi PPP agar lebih proporsional, akuntabel, dan adil, serta hanya diterapkan dalam perkara korporasi yang memenuhi kriteria. Dalam perspektif yang lebih umum, pengetatan syarat PPP dapat mendorong penguatan tata kelola dan budaya korporasi yang berintegritas dan patuh hukum.

Sumber: https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2025/12/04/154021180/kuhap-baru-memperketat-implementasi-perjanjian-penundaan?page=all#page2.

Editor : Sandro Gatra

Membership: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Thursday, August 7, 2025

Enforcing transnational non-conviction-based confiscation orders: comparing the United Nations, European Union, Australian, and Indonesian legal frameworks (Integritas: Jurnal Antikorupsi, Vol. 11, No. 1, 2025)


The present article compares and critically examines the enforcement of transnational non-conviction based confiscation (NCBC) orders in the United Nations (UN), European Union (EU), Australian, and Indonesian legal frameworks utilising comparative legal and document analyses. The results serve as a reference for regulating a fair and effective framework for transnational NCBC enforcement in Indonesian law. This research compares the nature of NCBC, adaptive response conceptualisation, mechanisms facilitating transnational NCBC enforcement, and procedural safeguards in the transnational enforcement stage. It concludes that the relevant UN, EU, and Australian legal frameworks can serve as benchmarks for transnational NCBC enforcement in Indonesia, specifically regarding norm formulation of NCBC, international cooperation for effecting transnational NCBC orders, and the corresponding procedural safeguards to ensure fairness. However, the research findings indicate that practices of transnational NCBC enforcement in these jurisdictions have yet to generate significant references for empirical effectiveness benchmarking. Furthermore, this article discovers crucial implications for the criminological theory of adaptive response. Lastly, reconceptualisation of the Indonesian NCBC regime and proposals for reforming the Criminal Assets Confiscation Bill and the Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Act are recommended.

https://doi.org/10.32697/integritas.v11i1.1520

https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/1520 

ResearchGate (More -> Download)

Wednesday, June 2, 2021

Informasi Pemesanan Buku "Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia" oleh Dion Valerian


Buku "Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia" oleh Dion Valerian. Kata Pengantar oleh Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. Diterbitkan oleh Ruas Media (Grup Genta Publishing).
"Khusus menyangkut analogi, penafsiran dan hal-hal lain yang terkait, memang ... tidak mudah menemukan bahan-bahan pustaka yang membahas hingga praktiknya. Oleh karena itu, buku ini menjadi penting." - Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
Info buku:
Dimensi: 14 x 21 cm
Tebal: x + 206 hlm.
Kertas: HVS 70 GSM
Harga: Rp55.000,00

Sinopsis:
Pandangan dominan dalam ilmu hukum pidana menyatakan bahwa penerapan analogi dilarang dalam hukum pidana, karena melanggar asas legalitas. Di sisi lain, penafsiran ekstensif justru diperbolehkan, padahal keduanya sama-sama memperluas cakupan makna ketentuan pidana dalam undang-undang, sehingga dapat mencakup perbuatan yang sebelumnya tidak termasuk dalam ketentuan pidana tersebut.

Dua hal yang menjadi fokus penelitian buku ini adalah: perbedaan dan persamaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana; dan penerapan analogi dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997.

Buku ini mengemukakan perspektif alternatif, juga baru, dalam pemahaman terhadap asas legalitas dan metode penemuan hukum, sehingga patut dibaca oleh peminat kajian ilmu hukum pidana, filsafat dan teori hukum, serta pemelajar ilmu hukum secara umum.

INFORMASI PEMESANAN BUKU:
1. Pemesanan melalui email dionvalerian@yahoo.com
2. Koperasi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia - Kopma FHUI (Instagram, Tokopedia)
3.  Law Book Store Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Instagram, Shopee)

Terima kasih!

Wednesday, August 26, 2020

Literatur yang Merintis Jalan: Buku-buku Hukum Pidana Pertama di Indonesia Merdeka

*sebelumnya diterbitkan di bahasan.id

Pendahuluan

Mr. Drs. Ernst Utrecht, yuris yang menulis banyak buku pengantar penting di bidang ilmu hukum itu, dalam Kata Pendahuluan buku Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I (terbit pertama kali tahun 1958) menjelaskan bahwa latar belakang penulisan buku tersebut adalah karena “… dalam bahasa nasional kita belum ada buku pelajaran hukum pidana yang ditulis oleh seorang pengajar aktif di kalangan universitas”. Secara tersirat, Utrecht mengakui keberadaan beberapa buku berbahasa Indonesia tentang asas-asas hukum pidana yang telah terbit sebelum 1958, yang ditulis oleh yuris-yuris non-pengajar aktif universitas. Memang, di dalam buku yang sama, di bawah topik Perpustakaan Hukum Pidana di Indonesia, Utrecht membuat daftar beberapa buku tentang asas-asas hukum pidana Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) dan Indonesia yang ditulis oleh yuris Indonesia maupun yuris Belanda.

Artikel ini akan menelusuri riwayat buku-buku tentang asas-asas hukum pidana Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia pasca Proklamasi 1945, beserta ulasan ringkas mengenai profil penulisnya. Literatur-literatur tersebut memiliki peran historis yang amat penting, tidak saja sebagai penanda kerja-kerja awal intelektual hukum Indonesia, namun juga dalam merintis jalan bagi khazanah keilmuan hukum pidana Indonesia.

Buku-buku Pertama tentang Asas-asas Hukum Pidana Indonesia

Dalam daftar Utrecht, terdapat empat literatur tentang asas-asas hukum pidana yang dipandang sebagai pustaka-pustaka paling awal tentang hukum pidana Indonesia, yaitu karya Karni, Tirtaamidjaja, van Schravendijk, dan Moeljatno. Artikel ini hanya akan membahas buku-buku dari tiga penulis pertama, sementara tulisan Moeljatno yang dipublikasikan dalam bentuk artikel majalah berjudul “Usul tentang Naskah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Bahasa Indonesia” (Hukum, 1954. 1, hlm. 3-20) tidak dibahas lebih lanjut. Daftar ketiga buku itu akan penulis tambahkan dengan buku Utrecht sendiri dan buku R. Tresna. Berikut adalah daftar tersebut diurutkan dari yang paling awal hingga yang paling akhir terbit: