Tentang

Tuesday, July 26, 2016

Tentang Kematian, Tobil, dan Kesimpulan

Saya sebenarnya cuma mau bicara tentang pengalaman saat membikin skripsi, namun, agar tulisan ini sedikit lebih berisi, saya perlu mengutip kisah singkat tentang Pak Sastro. Pak Sastro adalah tokoh utama dalam Kooong, novel karangan Iwan Simatupang. Ia adalah orang baik namun bernasib murung. Istrinya meninggal akibat diterjang banjir dari waduk desa yang jebol saat ia sedang menjemur padi. Pak Sastro tak ikut mati saat itu, sebab kebetulan ia sedang pergi ke luar kota. Amat, anak laki-laki Pak Sastro, memutuskan untuk pergi ke Ibukota bersama pemuda-pemuda desa yang berhasil selamat dari banjir. Satu kematian lewat, satu kematian datang merundung. Amat mati dilindas lokomotif langsir di dekat Stasiun Senen. Kata masinis kereta api - yang menggilas Amat - kepada Pak Sastro (diceritakan bahwa mereka memang betulan bertemu), 
"Semua orang melihat, si Amat itulah yang salah. Lokomotif lagi mendengus-dengus di hadapan hidungnya, tahu-tahu dia nyelonong menyeberang jalan. Ini bukan salah lagi namanya, tapi perbuatan nekad. Ya! Aku malah makin cenderung berpendapat, perbuatan si Amat itu perbuatan yang disengaja."
Si Amat mati bunuh diri, batin Pak Sastro. Ia berjalan terhuyung-huyung, hatinya remuk, pikirannya  sibuk,
"Hm! Jadi, si Amat nekad. Mengapa? Apa dia sudah tak ingat lagi pada ajaran-ajaran yang diperolehnya dari guru mengaji di desa dulu? Tidakkah dia tahu, Tuhan melarang perbuatan nekad? Putus asa? Bunuh diri?"
Terhadap kematian Amat dan persepsi Pak Sastro, ada pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilayangkan. Beberapa mungkin tidak terjawab dengan meyakinkan, salah satunya adalah: "Layakkah kita menilai manusia hanya dari cara ia mati?".

Kita suka menganggap mereka yang mati bunuh diri sebagai orang yang "agamanya tidak kuat", "mentalnya lemah", "arwahnya tidak akan tenang", dan "tidak mungkin masuk surga". Vonis tersebut, sekuat apapun pembenaran religiusnya, tetap saja terasa arogan dan tidak adil. Dengan membuat vonis seperti itu, kita melupakan kompleksitas pribadi manusia. Kita mengabaikan penderitaan yang korban rasakan. Kita secara tidak langsung berusaha menghapus kesalahan kita; kesalahan karena kita gagal mendampingi dan mendengarkan keluh kesah korban. Jika saja korban didampingi dan didengarkan keluh kesahnya, mungkin ia akan urung niat untuk bunuh diri.

Menurut saya, orang tak lantas menghidupi hidup yang sepenuhnya buruk jika ia memilih bunuh diri sebagai cara ia mati. 

Yusi A. Pareanom pernah menulis cerpen lucu tapi serius tentang pertanyaan "Layakkah kita menilai manusia hanya dari cara ia mati?" itu. Judulnya Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai. Agus Taswin, salah satu tokoh dalam cerita itu, menanyakan pada kita sebuah pertanyaan yang kurang lebih senada dengan pertanyaan di atas:
"Engkau percaya amal perbuatan manusia hanya ditimbang berdasarkan detik-detik terakhirnya?"
Pertanyaan itu, tak lain tak bukan, lahir karena kematian yang merenggut istrinya, Ratna Dyah Wulansari. Ratna tidak mati dengan cara yang arus-utama. Suatu pagi (istri Pak Sastro juga meninggal pada pagi hari), Ratna ditubruk seorang tukang ojek yang kehilangan kendali setelah menghindari seekor kucing hitam yang melintas. Tubrukan itu fatal. Ratna dan penumpang ojek dijemput maut pagi itu juga. Kematian Ratna saja sudah membuat Agus sedih, namun perkara yang benar membebani pikiran Agus bukan hanya itu. Ada sedikit deviasi pada ucapan terakhir Ratna sebelum ia meninggal. Ratna jatuh dengan kepala bagian belakang menghantam aspal. Ketika melayang di udara, dalam waktu satu atau satu setengah detik, Ratna sempat berteriak kaget, "E, tobil!" 

Mungkin anda bertanya-tanya, apa sih "tobil" itu? Tobil, ternyata, adalah nama anak kadal. Dan, ya, itu seruan yang memang terlalu remeh-temeh, juga tak penting, untuk diucapkan saat nyawa hendak lepas. Gara-gara si tobil, beberapa tetangga menyebut bahwa Ratna matinya kurang bagus. Cara mati Ratna kemudian dibanding-bandingkan dengan cara mati si penumpang ojek. Si penumpang ojek yang ikut dicolek malaikat maut itu dipandang bernasib bagus karena sempat mengucap nama Allah, bahkan lengkap membaca Al-Fatihah sebelum napasnya usai. Ada pula tetangga yang tak kalah jahat mengucap bahwa kematian karena kucing hitam yang kulitnya botak-botak adalah pertanda buruk. Dengan begitu, adalah sangat beralasan jika Agus Taswin begitu terpukul lantas mengucapkan pertanyaan itu. Tokoh Aku, adik Ratna sekaligus adik ipar Agus, menjawab,
Mas, aku yakin Tuhan bukan akuntan yang pencemburu. Tidak ada yang salah dengan saat-saat terakhir Mbak Ratna. Ia orang baik, Mas, sangat baik. Mas tak perlu khawatir."
Saya suka dengan jawaban tokoh Aku. Itu jawaban yang terdengar bijak, meski sebetulnya diucapkan untuk menjaga kepatutan dan kesopanan. Bagi saya, entah bagaimana cara Tuhan menghitung amal hidup mereka yang mati bunuh diri atau ia yang mengucap "E, tobil!" ketika mati, yang jelas, saya tak mampu mengadili hidup mereka hanya dengan melihat cara mereka mati. Adalah tak layak untuk mengukur kualitas seorang manusia hanya dari ujung hidupnya. Menurut saya, seorang manusia harus dinilai dari hidupnya secara keseluruhan; tidak dengan menilai titik-titik tertentu dari hidupnya yang berjumlah hanya segelintir saja.

Logika "menghakimi garis finish" ini, ingin saya bandingkan dengan satu pengalaman di kampus. Keduanya tidak sama ekstrem dan tidak sepenuhnya mirip, memang, tapi setidaknya ada satu anasir yang dapat membuat keduanya berkaitan.  

Ketika menulis skripsi, sebagian mahasiswa tahun tua memegang prinsip bahwa bab terakhir skripsi, yang isinya Kesimpulan (dan Saran) adalah bagian yang paling penting dari suatu skripsi. Menurut mereka, "Kesimpulan harus bagus" sebab "Dosen penguji adalah orang-orang sibuk, mereka hanya sempat membaca Kesimpulanmu". Begitupun ketika kami, para mahasiswa penulis skripsi, bercakap-cakap tentang skripsi masing-masing, seringkali pertanyaan yang terlontar adalah "Analisismu itu Kesimpulannya apa?". Untuk memahami kulit suatu penelitian, pertanyaan ini memang layak-layak saja. Namun ia menjadi tidak layak ketika hanya Kesimpulan (yang sangat singkat itu) yang dijadikan indikator untuk menakar kualitas suatu tulisan. Tentu, poin Kesimpulan adalah saripati dari saripati suatu tulisan. Kita mungkin dapat menemukan poin yang tajam dan mencengangkan dalam suatu Kesimpulan, namun Kesimpulan itu miskin dengan unsur kedalaman. Menghitung suatu tulisan hanya dari Kesimpulan pada hakikatnya meremehkan proses mencapai Kesimpulan itu sendiri. Kesimpulan dapat ditulis paling lama dalam waktu satu hari, dan menghabiskan tak lebih dari tujuh halaman. Bandingkan dengan penulisan Latar Belakang, Dasar Teori, serta Analisis yang butuh waktu berbulan-bulan (bahkan, pada beberapa orang, bertahun-tahun). Justru di bagian-bagian inilah masa penulisan yang paling berdarah-darah dan penuh tekanan. Kekencangan rantai logika tulisan hanya dapat dinilai dengan membaca dan memahami Latar Belakang, Dasar Teori, Analisis, dan Penutup (Kesimpulan dan Saran) secara keseluruhan. 

Pada poin "menilai dari keseluruhan" inilah, saya kira, kematian, tobil, dan Kesimpulan saling bertalian.

(23:21, 26 Juli 2016, sambil menonton Golden Memories di Indosiar)

No comments:

Post a Comment